Minggu, 03 Desember 2017
Rangkuman SKI Kelas 12 Smester Ganjil
Sabtu, 12 Agustus 2017
Demokrasi dan Budaya Kritis
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang memungkinkan semua memiliki hak yang sama untuk bersuara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah kehidupan bersama. Era demokrasi adalah era keterbukaan, dimana semua orang bebas berbicara dan berpendapat.
Setiap pendapat tidak bisa di bendung, karena setiap kepala punya cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu fenomena. Tidak bisa siapapun mengerangkeng isi kepala yang merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang patut kita syukuri. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain ciptaan-Nya "al insan hayawan nathiq". Anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa berupa kemampuan berpikir yang menyebabkan manusia sangat dimungkinkan mempunyai berbagai pemikiran dan gagasan. Membatasi orang berfikir adalah mengkufuri nikmat Tuhan.
Namun seringkali orang kebablasan dalam berpikir dan berucap. Pedahal jelas ada peringatan bagi yang hanya berucap tapi tidak sesuai dengan perbuatannya, kaburo maktan 'inda Allah an taqulu maa laa taf'alun.
Kamis, 15 Juni 2017
Tujuh Standar Literasi Media Islam Online
1. Prinsip produksi berita online
a. Verifikasi (tabayun) akurasi informasi dan cermat memeriksa kredibilitas narasumber (mengadopsi pakem ilmu jarh wa ta’dil)
b. Memastikan dipatuhinya kode etik jurnalistik dalam pencarian bahan berita dan penulisan.
c. Kaedah “ambil yang jernih, buang yang keruh” dijadikan pegangan dalam memilah informasi di tengah air bah informasi di era media baru ini.
d. Memperbanyak komparasi berbagai sumber informasi kredibel, untuk mendapatkan informasi mendalam dan utuh.
e. Mencantumkan sumber berita dalam bentuk Link
2. Etika distribusi berita
a. Dipastikan, informasi yang akan disebar membawa manfaat dan tidak memicu fitnah. Tidak semua informasi yang diterima langsung disebar (prinsip dari: kafa bil mar’i kadziban an yuhadditsa bi kulli ma sami’a, seseorang cukup indikasi dinyatakan sebagai pendusta, bila mengabarkan semua yang ia dengar).
b. Pakem, “kalau tak bisa bicara baik, hendaknya diam” (prinsip dari fal yaqul khoir aw li yashmuth), jadi pegangan sebelum menebar informasi, di era yang sangat gampang sharing kabar).
c. Kaidah “membuang dharar’ dan prinsip preventif (dar’ul mafasid muqoddam ‘ala jalbil mashalih) perlu dicermati sebelum menebar berita.
d. Memelihara ukhuwah, dengan tidak tampil provokatif dan merendahkan, dan menghina, karena yang dihina bisa jadi lebih mulia di mata Allah (prinsip la yaskhor qoumun min qoumin, ‘asa an yakuna khoir).
3. Jaminan akurasi dan komitmen anti hoax Media Islam harus menjadi mau’izhah hasanah (role model) dalam menjamin kejujuran informasi, di tengah sebuan informasi dusta, hoax dan manipulatif.
4. Spirit amar maruf nahi munkar Prinsip kontrol sosial dalam jurnalisme harus bersemangat menyeru kebajikan dan mencegah kemungkaran
5. Asas hikmah dalam dakwah Mengedepankan sikap bijak, penuh hikmah, keletadanan yang baik dan kalaupun harus berpolemik, dilakukan dengan cara yang lebih baik.
Media baru yang berciri interaktif dan spontan rawan memancing gesekan bila tidak disertai asas hikmah dalam menyerukan kebajikan.
Menghindari prasangka dan i’tikad buruk. Jalan ini relevan di tengah menguatnya Islamophobia.
6. Prinsip dalam interaksi digital saling respek dan berspirit saling membantu (ta’awun)
7. Prinsip kemerdekaan pers Kemerdekaan pers diekspresikan secara bertanggung jawab dengan memegangi akhlak dan prinsip “manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia”. Kemerdekaan pers dikelola dengan usaha yang halal dan thoyyib
Jakarta, 21 April 2017
Disusun berdasarkan perumusan bersama:
1. Asrori S.Karni (wartawan senior)
2. Maimon Herawati (Dosen Fikom Unpad)
3. Ibnu Syafaat (unsur Forum Jurnalis Muslim/Forjim)
4. Yahya G.Nasrullah (Unsur Jurnalis Islam Bersatu/JITU)
5. A.Khoirul Anam (Ormas/NU Online)
6. Fakhruddin (wartawan Republika)
7. Sigit Kamseno (fasilitator workshop/Bimas Islam Kemenag RI)
Ditandatangani oleh 38 peserta utusan Media Islam Online (NU Online, Muhammadiyah.or.id, Persis.or.id, Al-Irsyad, Kabar al-Washliyah, Mathlaul Anwar, Arrahmah.com, VoA Islam, Dakwatuna, Suara Islam, Kiblat.Net, Panjimas, Islamedia, Forum Lingkar Pena, HASMI, Radio Rodja, Radio Silaturahim, Radio Dakta, dll)
Kamis, 08 Juni 2017
Di Era Jokowi, Pancasila Lebih Banyak di Benturkan dengan Islam
PAKAR hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, sengaja menuliskan artikel ini sehari setelah Pemerintahan Jokowi merayakan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2017.
Alasannya, saya tidak ingin menambah materi perdebatan di tengah publik yang memang sedang riuh di tengah terjadinya degradasi makna Pancasila dalam tataran implementasi, namun sangat subur dan surplus dalam tataran kata-kata serta simbol-simbol yang sesungguhnya tak berguna sama sekali karena justru mendegradasi Pancasila itu sendiri.
Perdebatan tentang mengapa Hari Lahir Pancasila ditetapkan 1 Juni pun belum usai, meski Presiden Jokowi telah menetapkanya lewat sebuah keputusan, bahkan menetapkan 1 Juni sebagai hari libur Nasional.
Maka Pancasila semakin kehilangan makna karena jejaknya pun mulai dihapus dan diganti di tengah perjalanan sejarah bangsa.
Memang bila kita telusuri sejarah dengan hati yang jernih, tentu akan menjadi pertanyaan yang tidak akan terjawab secara tuntas, mengapa Pemerintahan Jokowi memilih menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Belum lagi bicara pada rumusan Pancasila yang disampaikan oleh para pendiri bangsa saat sidang BPUPKI tahun 1945 yang dimulai dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni yang memang khusus merumuskan tentang bahan konstitusi dan rencana cetak biru bangsa Indonesia.
Rumusan-rumusan yang disampaikan oleh para pendiri bangsa seperti Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno hingga ke Piagam Jakarta dan Rumusan Pancasila dalam UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945. Rumusan Yamin, Soepomo dan Soekarno serta Piagam Jakarta adalah rumusan yang berbeda dan tidak sama Pancasila yang sekarang kita jadikan ideologi dan falsafah bangsa.
Rumusan yang dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 juga adalah rumusan yang tidak sama dengan Pancasila sekarang. Lantas menjadi tepatkah 1 Juni disebut Hari lahir Pancasila dengan semua rumusan yang tidak sama dengan Pancasila dalam UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945?
Semua boleh menjawab dengan menggunakan nalar masing-masing, namun bagi saya 1 Juni tidaklah tepat disebut sebagai hari lahir Pancasila dan tidak juga boleh dijustifikasi bahwa Pancasila sebagai produk tunggal Soekarno. Namun Pancasila lebih tepat disebut lahir tanggal 18 Agustus 1945 seiring perumusan bersama oleh para pendiri bangsa.
Dalam sejarah perjalanan hidup Taufik Kiemas, sewaktu masih menjabat sebagai Ketua MPR, beliau pernah mengajukan surat permohonan kepada Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono untuk menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.
Namun karena SBY paham dan mengerti sejarah perjalanan Pancasila, ditambah pengalaman SBY sewaktu masih menjabat Menkopolhukam era pemerintahan Megawati, beliau tidak serta merta merestui dan menyetujui permohonan tersebut. Meski hampir setiap tahun SBY semasa pemerintahannya selalu memperingati 1 Juni sebagai tonggak awal lahirnya Pancasila
Sejarah telah mencatat, ketika pada suatu perayaan Hari Kesaktian Pancasila, dan upacara secara militer telah disiapkan dengan rencana inspektur upacara Presiden, ternyata Megawati urung menjadi Irup dan digantikan SBY yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam. Pertanyaannya mengapa Presiden urung menjadi Irup kala itu? Mari kita tanya kejujuran ibu Mega.
Hal itu sangat mungkin bukan terjadi begitu saja. Mungkin saja dan menjadi patut diduga bahwa Megawati tidak senang dengan perayaan Kesaktian Pancasila 1 Oktober karena identik dengan titik awal kejatuhan kekuasaan Soekarno sebagai Presiden pasca kudeta gagal oleh PKI. Secara psikologis itu menjadi masuk akal sehingga sejarah harus diganti karena perasan traumatik atau memang sama sekali tidak suka dengan 1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila.
Maka untuk menggantikan itu, diupayakanlah tanggal lain yang menjadi lebih besar dan menutupi Peringatan Kesaktian Pancasila 1 Oktober dengan 1 Juni. Sah saja andai sejarah tidak menjadi kehilangan jejak karena bangsa ini tidak akan pernah menjadi bangsa besar jika sejarahnya tidak lurus.
Kembali kepada peringatan hari lahir Pancasila yang kemarin 1 Juni 2017 diperingati secara besar-besaran oleh penerintah ini. Ada yang mengganggu dari slogan petingatan kemarin yaitu kalimat "SAYA PANCASILA". Hal ini bagi saya adalah mendegradasi makna Pancasila itu sendiri karena kita sebagai warga negara mensejajarkan diri dengan Pancasila.
Dengan menyebut "SAYA PANCASILA" artinya perbuatan yang belum tentu sesuai dengan Pancasila menjadi dianggap pancasilais. Contohnya, pencabutan subsidi terhadap rakyat itu tidaklah Pancasilais karena subsidi itu adalah bentuk kecil dari upaya negara mewujudkan keadilan sosial.
Pemungutan pajak secara ugal-ugalan itu juga tidaklah Pancasilais. Penggusuran rakyat miskin itu juga tidak Pancasilais. Lantas di mana persamaan perilaku pemerintah ini dengan Pancasila hingga berani menyebut dirinya dengan kalimat "Saya Pancasila"?
Pancasila 18 Agustus 1945 itu adalah kompromi dari kelompok Nasionalis dengan kelompok Agamis terutama kelompok Islam. Pancasila itu lahir dari kesepakatan bersama antara paham Nasionalis dengan paham Agamis Islam.
Tapi saat ini seolah Pancasila hanya menjadi milik kaum yang merasa dirinya Nasionalis. Bahkan Pancasila digunakan sebagai alat pembenaran untuk menggebuk, dan yang digebuk justru dari kalangan agamis yang dulunya adalah bagian dari kompromi lahirnya Pancasila.
Era Soeharto, Pancasila digunakan sebagai pembenaran menggebuk yang berbau Komunis. Sekarang di era Jokowi, Pancasila lebih banyak dibenturkan dan dihadap-hadapkan dengan kaum Agamis Islam. Ini tidak sehat dan tidak baik. Yang merasa dirinya nasionalis tidak boleh merasa bahwa dirinyalah Pancasila.
Pancasila semakin terdegradasi jauh. Bagi rejim ini, yang tidak sepaham dengan dirinya dianggap tidak Pancasilais, dianggap tidak toleran, dianggap tidak berbhineka. Ini perusakan nilai ruh Pancasila yang sesungguhnya.
Presiden harus melakukan upaya-upaya yang benar dan tepat dalam menangani masalah ini sebelum menjadi membesar. Presiden harus mengerti dan memahami sejarah supaya tidak mudah diatur kelompok lain untuk menciptakan sejarah baru terkait sejarah Pancasila seperti penetapan 1 Juni itu sebagai Hari Lahir Pancadila dan sebagai hari libur.
Pancasila itu bukan Soekarno, Pancasila bukan golongan tertentu saja, tapi Pancasila itu adalah hasil kompromi besar para pendiri bangsa yang harus dijaga kelurusan sejarahnya, dikawal penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta diamalkan nilai-nilainya dalam menyelenggarakan negara.
Berhentilah siapapun yang ingin menciptakan sejarah dengan memodifikasi sejarah bangsa, terutama sejarah Pancasila agar Pancasila tidak kehilangan jejak dan tidak terdegradasi makanya jadi sebatas simbol-simbol semata. (sindonews)
Sumber : Umatuna.com
Rabu, 07 Juni 2017
MENYOAL PERAN A. HASSAN DI “KANDANG BANTENG”
Ada agenda acara yang tidak biasanya di kantor Megawati Institute, Menteng Jakarta Pusat pada hari Selasa, 6 Juni 2017, lalu yang bertepatan dengan 11 Ramadhan 1438 H.
Fenomena tidak biasanya itu setidaknya dari tema kegiatan dan sebagian pesertanya yang menghadiri acara tersebut. Sebagai institusi yang menjadi dapur pengkajian dan penelitian yang didirikan oleh seorang tokoh partai terbesar dan yang sedang berkuasa, tentu hal yang wajar mengkaji dan meriset segala hal yang berkaitan dengan kepentingan tokoh maupun lembaga partai tersebut. Demikian juga suatu yang lumrah sebagai lembaga ilmiah untuk menghadirkan narasumber dan peserta yang beragam latar belakang. Namun terasa istimewa ketika tema itu justru diberi judul besar “Ngaji Bareng Bung Karno” dan salah satu tema kecilnya adalah pengaruh A. Hassan (Persis) terhadap pemikiran keislaman Bung Karno. Tema ini tentu saja paradoks dengan stigma yang selama ini kuat berkembang di kalangan mayoritas muslim Indonesia bahwa seakan semua institusi yang berafiliasi ke Partai Moncong Banteng itu adalah tidak suka terhadap Islam dan semua hal yang terkait dengannya, dan yang terasa lebih tidak biasa lagi adalah dihadirkannya salah seorang narasumber dari alumni Pesantren Persis Bangil yaitu Prof Syafiq Mugni, yang sekarang menjadi salah seorang Ketua PP. Muhammadiyah.
Akumulasi dari itu semua itu nampaknya yang menjadi daya tarik bagi sebagian alumni Pesantren dan aktivis muda Persis untuk hadir pada acara ini sehingga terkesan mendominasi peserta yang lain yang datang dari berbagai kalangan muslim maupun non muslim. Sungguh suatu pemandangan yang sangat langka dimana kader-kader PERSIS tanpa rasa canggung dan minder bertandang di Lembaga Penelitian milik Ketum PDIP. Hal ini patut jadi preseden baik bahwa suatu saat kader PERSIS bukan hanya hadir sebatas bersumbang saran dalam diskusi, tetapi benar-benar mampu berkiprah dan memposisikan peran A.Hassan di “Kandang Banteng” yang sesungguhnya.
Pada sesi diskusi, saya diberi kesempatan khusus untuk meyampaikan tanggapan terhadap tiga narasumber. Yang ingin saya kemukakan pada saat itu sebenarnya banyak, tetapi karena masalah waktu saya tidak mungkin menjelaskan secara detail.
Pada tulisan inilah saya sampaikan tanggapan lengkap saya atas diskusi itu:
Pertama-tama saya mengajak semua hadirin untuk mendoakan Bung Karno agar diberi kedudukan yang indah di Surga Allah SWT, dan juga diampuni segala dosa dan kekhilafannya. Sebagai Proklamator kemerdekaan dan Presiden Pertama RI tentu saja tidak sedikit jasanya bagi negara dan bangsa juga agama, dan sebagai manusia biasa beliau juga tidak akan luput dari dosa dan kesalahan.
Kedua, saya setuju dengan pernyataan Pak Amich Al Humami, Ph.D, bahwa seorang tokoh yang besar dan briliant seperti Bung Karno tidaklah mungkin terbentuk hanya dengan terpaan pemikiran dan didikan terbatas satu dua guru di belakangnya, melainkan dibentuk oleh guru pemikir dan pergaulan yang seluas-luasnya, bukan hanya yang lagsung berhadapan tetapi juga dari pemikiran tokoh-tokoh dunia yang sedang berkembang pada zamannya. Demikian pula halnya dengan pemikiran dan sikap keagamaan Bung Karno semenjak bersentuhan dengan gerakan Islam hingga mencapai puncak kepemimpinan tertinggi untuk pertama kalinya di bumi Indonesia ini, yaitu menjadi Presiden RI, semuanya bergerak secara dinamis dan dialektis untuk menjadi sikap dan kebijakannya dalam beragama. Persentuhan Bungkarno dengan pemimpin Syarekat Islam, HOS. Cokro Aminoto, di Jogjakarta, telah memberi kesan yang kuat terhadap pembentukan kepemimpinan dan kecintaannya terhadap politik dan pergerakan kemerdekaan. Bahkan gaya pidato dan kemampuan orasinya dalam menggerakan semangat perjuangan dan dalam memobilisasi massa disebut-sebut tersibghah oleh gayanya HOS Cokro Aminoto. Persentuhan Bung Karno dengan A. Hassan di Bandung telah menginspirasi kesadaran keislaman Bung Karno lebih baik lagi dari sebelumnya. Pemikiran-pemikiran yang tajam dari A. Hassan tentang pemurnian ajaran Islam dan penerimaannya terhadap kemodernan terasa cocok bagi jiwa Bung karno yang revolusioner dan agresif. Persahabatan dan pertukaran gagasan-pemikiran terus berlanjut secara lebih intensif justru ketika Bung Karno mengalami kesunyiaan di pengasinganya, di Endeh, NTT antara tahun 1932 sampai dengan 1936. Melalui surat menyurat dan bertukar buku karya masing-masing, maka konsepsi pemikiran dan praktek keislaman Bung Karno sudah sangat kuat dipengaruhi pemikiran Tuan A. Hassan. Terbukti bahwa Bung Karno tidak mau mengadakan kenduri Tahlilan kematian Ibu Mertuanya yang wafat di Ende dan bersikukuh meskipun para Kiyai di lingkungan sekitar menggungjingnya.
Sedangkan persentuhan Bung Karno dengan Muhammadiyah selain ketika beliau masih tinggal di rumah HOS Cokro Aminoto yang sering bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan dalam pengajian di sekitar tempat tinggalnya, juga ketika ketika Bung Karno menetap di Bengkulu dan menikahi salah seorang putri tokoh Muhammadiyah di sana hingga beliau menjadi salah seorang pengurus Muhammadiyah Bengkulu. Hingga wafatnya Bung Karno berpesan agar ditutup dengan kain berlogo Muhammadiyah sebagai bukti kecintaan sampai akhir hayatnya.
Adapun interaksi Bung Karno dengan pemahaman keislaman Nahdhatul Ulama lebih luas lagi di lapangan politik praktis terutama ketika ia telah menjadi Presiden jabatan Menteri Agama hampir selalu diberikan kepada tokoh yang berasal dari NU. Dengan demikian praktis kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang keagamaan sangat kuat dipengaruhi pemikiran Nahdhatul Ulama. Pada saat mulai banyak tokoh Islam dari Syarikat Islam, Persis, Muhammadiyah, Perti, dan lainnya berseberangan haluan dengan Bung Karno tentang NASAKOM, Nahdhatul Ulama justru tampil sebagai penyokong utama kebijakan politiknya. Jauh sebelum itu NU bahkan telah berjasa melalui fatwa atau Resolusi Jihadnya menghadapi agresi Inggris. Demikian pula kedudukan Bung Karno sebagai Kepala Negara dijustifikasi dengan kedudukan sebagai Ulil Amri umat Islam Indonesia yang sah secara hukum fikih melalui Konferensi Alim Ulama NU 1954 yang mengukuhkan gelar Waliyyu Amri al Dharuri bil Syaukah bagi Presiden Soekarno.
Ketiga. Terkait hubungan Islam dan keIndonesiaan dalam pandangan PERSIS sudah sangat jelas. PERSIS tidak pernah mempertentangkan keislaman dan keindonesiaan, melainkan keduanya diposisikan agar bisa berjalan seiring pada wilayahnya masing masing. Bahkan organisasi Islam yang pertama benar-benar menggunakan bahasa Indonesia adalah Persatuan Islam (PERSIS). Berbeda dengan nama-nama ormas Islam lainnya yang menggunakan nama dengan bahasa Arab, seperti Muhammadiyah atau pun Nahdhatul Ulama. PERSIS dengan jelas membangun paradigma keIslaman untuk Indonesia membedakan antara masalah-masalah yang pokok aqidah dan ibadah yang tidak bisa ditambah atau dikurang dari masalah muamalah duniawiyah yang terbuka adanya pembaharuan dan inovasi. Prinsip pertama mengacu kepada dalil utama “Kullu bid’atin dhalalah”. Dengan prinsip ini maka PERSIS mengharuskan dirinya menjadi ormas puritan yang fokus gerakannya adalah pemurnian aqidah dan ibadah dari tahayyul, bid’ah, dan syirik dengan konsekwensi PERSIS distigma sebagai ormas yang sangat keras dan kaku. Namun disamping prinsip itu, ada prinsip kedua yang menjadi penyeimbangnya, yaitu “Antum a’lamu biumuri dunyakum”. Dengan prinsip ini PERSIS terbuka kepada semua budaya ataupun kearifan lokal dan juga ilmu pengetahuan serta penemuan modern selama tidak bertentangan dengan aqidah dan ibadah. Maka kekakuan dan ketegasan di bidang aqidah dan ibadah sudah semestinya diimbagi dengan keluwesan dan keterbukaan untuk beradaptasi dengan kearifan lokal dan berinovasi di bidang yang dikatagorikan keduniawian. Walaupun sangat disayangkan jika belakangan malah Nahdhatul Ulama yang kemudian mengembangan wacana “Islam Nusantara” sebagai jargon dakwahnya dan Muhammadiyah yang mengembangkan jargon “Islam berkemajuan”, tapi kita tetap bergembira karena setidaknya dua prinsip utama dakwah PERSIS pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan paradigma dakwah ormas lainnya sehingga bisa bekerjasama dengan saudara-saudara kita walau dengan konsepsi yang tidak selamanya harus sama.
Terakhir. Saya, dan kita semua, sudah sepatutnya meneladani dan belajar dari tokoh-tokoh besar bangsa ini untuk kembali merajut kesatuan dan kesatuan bangsa menuju kejayaan dunia-akhirat, kemajuan lahir dan batin, yang belakangan ini indikasinya menjurus kepada perseteruan dan perpecahan bangsa.
Bekasi, 7 Juni 2017
Dr. Jeje Zaenudin