Jumat, 02 Maret 2018

Dinamika Menjelang Pemilu 2019: Dari Presidensial Threshold ke Peta Politik

Menjelang tahun 2019 suasana politik senakin memanas, 2018 dianggap sebagai tahun politik yang dijadikan persiapan lebih matang menghadapi pemilihan umum baik legislatif maupun eksekutif. Pilkada tahun 2018 sebagai memontum memanaskan mesin partai, pemantapan persiapan,  ajang konsolidasi serta penjajakan  berbagai kemungkinan membangun koalisi lintas partai, dengan kata lain pilkada 2018 adalah simulasi menjelang pemilu yang dilaksanakan serentak, pilpres dan pileg secara langsung. Pilkada dianggap sebagai momentum menancapkan kuku-kuku partai politik disemua daerah.
Partai Gerindra, PKS, dan PAN cenderung lebih banyak membangun koalisi pilkada. Koalisi disepakati di lima provinsi, diantaranta Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan lain sebagainya. Gabungan partai ini memberi signal kemungkinan akan linear dengan pilpres 2019, meskipun demikian dinamika politik yang terjadi memungkinkan peta politik masih bisa berubah. Begitu pula dengan partai-partai lainnya, dalam pilkada koalisi yang terbangun antar partai sangat cair dalam menentukan dukungan terhadap calon yang akan diusung. Detik-detik menjelang pilkada bongkar pasang calon ikut memanaskan dinamika politik.
Di Jawa Barat sempat terjadi bongkar pasang peralihan dukungan terhadap calon, apa yang dialami Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil dan UU, pasangan Sudrajat dan  Syaikhu, serta pasangan TB Hasanudin dan Anton menggambarkan peta politik Jawa Jarat yang begitu dinamis. Campur aduk antara kepentingan masyarakat dan partai politik. Manuver Gerindra mengalihkan dukungan dari Deddy Mizwar merupakan satu langkah yang mengejutkan publik Jabar, sebelumnya Gerindra, PKS, dan PAN mantap mendukung Deddy Mizwar dan Ahmad Syaikhu namun seiring dinamika yang terjadi Gerindra bersama PKS dan PAN berpindah haluan, PKS, PAN dan Gerindra sepakat mengusung Sudrajat Syaikhu. Golkar yang sebelunya mendukung Ridwan Kamil pun berubah haluan pasca Setya Novanto tidak lagi menjabat sebagai ketua umum. Golkar dan Demokrat pada akhirnya sepakat membuat koalisi sejajar untuk pilgub Jabar. Ridwan Kamil yang sempat terancam tidak mengantongi dukungan cukup akhirnya bisa bernafas lega setelah menjaleng akhir mendapat kesepakatan partai koalisi untuk mengusung Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Yang mengejutkan adalah langkah PDIP mengusung TB Hasanudin dan Anton Charlian, kedua tokoh ini sama-sama dianggap kalah popular dibandung Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar, terlebih keberanian PDIP mengusung pasangan tanpa dukungan dari partai lain. Kekuatan PDI yang memiliki 20 persen kursi di DPRD Jabar merupakan salasatu faktor PDIP mampu mengusung sendiri pasangan alon.
Di Jawa Timur, mundurnya Azwar Anas digantikan oleh Puti Guntur mendampingi Gus Ipul sebagai passangan cagub dan cawagub sempat menjadi perbincangan hangat, apa lagi pilkada Jawa Timur merupakan rematch antara Gus Ipul dan Khofifah yang sebelumnya telah bertarung. Ada hal yang menarik dalam koalisi gabungan partai di Jawa Timur, terdapat PDIP, Gerindra dan PKS sama-samam satu barisan mendukung Gus Ipul, yang tentunya akan berdampak pada pilpres mendatang. Banyak pengamat yang menilai pertarungan di Jawa Timur bisa disebut all final Jokowi, karena keduanya mempunya irisan dengan Jokowi. Khofifah sebelumnya merupakan Menteri Sosial dalam kabinet kerja Jokowi, sementara Gus Ipul dan Puti pertama kali mendapat dukudungan dari PKB dan PDIP, dua partai pemerintahan Jokowi. Kondisi sosial dan keagamaan di Jawa Timur yang kental dengan masyarakat Islam tradisional menjadi pertimbangan partai dalam menentukan calon, disinilah merupakan basis nahdliyin dan keduanya merupakan kader dari Ormas NU, maka dipastikan Pilgub Jawa Timur adalah all final NU.
Di Jawa Tengah pun demikian, sebagai salasatu provinsi terpadat menjadi titik perhatian partai politik untuk menentukan calon tepat. Superiositas incumbent yang selalu di unggulkan dalam survey-survey adalah tantangan besar bagi para kompetitornya. Jawa Tengah adalah basis terkuat PDIP dengan menempatkan kader-kadernya sebagai kepala daerah. PDIP juga memiliki kursi terbanyak di DPRD Jawa Tengah. Ganjar Pranowo yang berhadapan dengan Sudirman Said adalah sala satu gambaran pertarungan dua kutub, Jokowi dan Prabowo. Tiga provinsi di pulau Jawa merupakan daerah yang terpadat penduduk dibanding wilayah lain di Indonesia, maka sebisa mugkin partai politik harus bisa tampil maksimal sehingga berdampak pada naiknya elektoral partai. Jawa adalah kunci, kalimat itu masih relevan sampai sekarang.
Dinamika pilkada juga hangat terjadi di Sumatra Utara, bongkar pasang dukungan terhadap calon yang akan berlaga juga terjadi di Sumatra Utara. Tengku Erry, Gubernur petahana harus merelakan untuk tidak berlaga di pilgub karena tidak mengantongi cukup dukungan kursi DPRD yang menjadi prasyarat. Sehingga harus merelakan partainya megalihkan dukungan ke paslon lain. Gerindra, PKS, dan PAN membangun komunikasi politik sampai ke Sumut, dukungannya ke Edi Ramayadi diikuti partai lain yang tidak cukup mengusung calon sendiri, Nasdem dan Golkar akhirnya bergabung mendukung pasangan Edi Ramayadi dan Ijek. Masuknya Djarot Syaiful Hidayat ke Sumut merupakan satu kejutan, Djarot yang sebelumnya kalah berlaga di DKI mencoba peruntungannya di Sumut berpasangan dengan Sihar Sitorus. Pertanyaan bersar muncul dimasyarakat, kenapa PDIP tidak memasang kader-kadernya yang juga beradarah Sumut. Majunya Djarot di pilgub sempat  mengalami kendala dukungan, suara PDIP tidak cukup untuk mengusung paslon harus mampu membangun koalisi dengan partai lain, PPP adalah partai yang memungkinkan untuk melengkapi kekurangan kursi PDIP. Yang paling memprihatinkan adalah musibah yang dialami Demokrat, PKB dan PKPI, calon yang mereka usung sempat dinyatakan tidak lolos oleh KPUD. JR Saragih dianggap tidak mempu melengkapi berkas syarat pendaftaran calon. Pukulan telak dialami kader Demokrat yang juga bupati Simalungun harus rela absen dalam kontestasi pilgub Sumut. Walaupun akhirnya Bawaslu menganulir keputusan KPUD dan menetapkan JR Saragih bisa mengikuti Pilkada Sumut.
Masih banyak daerah lain yang sama-sama melaksanalan pikada serentak, keterbatasan partai politik dalam memenuhi persyaratan menjadi tantangan tersendiri. Adanya ambang batas pencalonan menuntut partai politik harus mampu membangun koalisi dan melakukan komunikasi efektis demi terciptanya kesepakatan dalam mengusung calon. Dengan adanya ambang batas pencalonan, partai politik tidak bebas mencalonklan sendiri kadernya untuk berlaga. Win-win solution harus di tempuh untuk mengakomodir kepentingan politik setiap partai, disamping itu juga kepentingan masyarakat banyak yang tidak boleh dinafikan setiap partai politik demi terciptanya kualitas demorasi yang lebih baik. Kader partai yang memiliki potensi kuat dan kapasitas yang mumpuni untuk memimpin daerahnya tidak jaminan mendapat tiket dengan mudah. Pilihan untuk maju independen bukan tantangan mudah, aturan calon independen harus mampu mendapat dukungan yang banyak dari masyarakat menjadi syarat mutlat yang harus di penuhi. Seperti halnya di pilgub Sulawesi Selelatan, Ihsan Yasin Limpo mampu memenuhi syarat dukungan untuk maju di pilkada Sulsel. Kepiawaian IYL di Sulsel bukan hal yang mudah dilaksanakan di daerah-daerah lain. Jika berandai-andai tanpa persyaratan ambang batas calon, maka calon pemimpin yang ditawarkan kepada masyarakat akan lebih beragam. Pemimpin yang berkualitas dan berkapasitas tinggi akan lebih mudah terjaring sebagai tawaran mengatasi berbagai solusi di masyarakat. Fungsi partai politik sebagai produsen pemimpin akan lebih maksimal dengan keleluasaan partai politik menawarkan calon diharapkan masyarakat.
Tantangan lain yang harus dihadapi calon pemimpin adalah cost politik begitu besar. Mahar politik sebagai ongkos yang harus dipenuhi menjadi rahasia umum yang sudah diketahui. Politik tanpa mahar yang digaungkan beberapa partai politik, pada kenyataanya tidak sesuai dengan realita yang terjadi, mahar politik bisa berupa uang atau kesepakatan dengan berbagai pihak dianggap mampu membantu proses pencalonan. Pada akhirnya, Indonesia menampilkan proses politik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Praktek politik kapitalistik dan demikrasi liberal sejatinya terjadi di Indonesia, bukan demokrasi pancasila yang selama ini menjadi penghias bibir para elit politik.
Polemik Presidential Threshold
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem Presidential dalam pelaksananaan pemerintahannya. Dalam sistem presidensial, presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Kedudukan eksekutif dan legislatif mempunyai posisi yang berbeda, presiden tidak memiliki ketergantungan terhadap lembaga legislatif. Kekuatan eksekutif presiden diangkat oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi. Presiden memiliki wewenang untuk membentuk dan menyusun kabinetnya, megangkat dan memberhentikan mentri, sehingga mentri dalam kabinetnya bertanggung jawab terhadap presiden. Sistem pemerintahan presidensial Indonesia diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen sesuai konstitusi.
Presiden Indonesia dipilih dalam pemilihan umum yang diatur di Undang-undang Republilk Indonesia Nomor 7 Tahun 2017. Pengesahan UU tentang pemilu memuai konflik dan prokontra dari berbagai kalangan, khususnya mengenai ketentuan ambang batas pencalonan presiden (Presidential threshold) yang terdapat dalam pasal 222. Dalam pasal tersebut mengatur ketetuan pencalonan presiden, syarat batas pencalonan presiden dan wakil presiden setidaknya harus memiliki minimal 20 persen suara di DPR atau 25 persen suara partai politik atau gabungan partai politik hasil pemilu.
Presidensial threshold sebagai acuan syarat pencalonan presiden munuai polemik dan dianggap bertentangan dengan prinsip pemerintahan dengan sistem prsidensiil yang menjadi salasatu pertimbangan pemilu serentak di tahun 2019. Bila ditinjau secara yurudis, presidensial threshold bertentangan dengan konstitusi terutama dalam UUD 1945 Bab III Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.  Selanjutnya pelaksanaan pemilihan umum diatur dalam UUD 1945 Bab VIIB tentang Pemilihan Umum pasal 22E ayat (2) yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Maka dari segi teoritik dan empirik, sulit untuk mencari pembenaran yang kuat dengan adanya ambang batas pencalonan presiden. Jika  dengan adanya presidential threshold diasumsikan untuk meningkatkan kualitas sistem presidensial dan demokrasi adalah alasan yang sangat lemah, sepanjang sejarah pemilihan presiden secara langsung di Indonesia partai pengusung calon presiden tang terpilih bukan dari partai atau gabungan partai yang meiliki suara mayoritas di DPR.
Adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), pemilu legislatif menjadi prasyarat untuk pencalonan presiden Indonesia akan memcampuradukan sistem presidensial dan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, mandat rakyat berupa hasil pemilu satu arah kepada partai politik untuk duduk di parlemen, kemudian parlemen (yang terdiri dari partai politik) kepada eksekutif (berupa perdana menteri), selanjutnya partai atau gabungan partai (dengan suara manyoritas) mencalonkan dan mengangkat perdana menteri. Dengan kata lain, dalam sistem parlementer hasil pemilu legislatif menjadi prasyarat untuk terbentuknya eksekutif. Gabungan partai politik menjadi suara mayoritas yang memenangkan suara untuk pemilihan perdana mentri. Logika sistem persidential ini lah yang sesungguhnya telah bercampur aduk dengan sistem parlementer.
Dalam pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia, tidak dijalankan dengan sebenarnya. Pada kenyataanya sampai dengan saat ini mekanisme sistem presidensial bercita rasa parlementer. Sampai dengan tahun 2014, hasil pemilu dijadikan acuan untuk mengusung presidenm, meskipun demikian suara di parlemen yang dijadikan syarat tidak menjadi jaminan keterpilihan presiden. Pemilihan presiden secara langsung dipilih oleh rakyat telah beberapa kali membuktikannya, presiden yang terpilih tidak mesti mendapat dukungan mayoritas dari paremen, dinamika setelah pemilihan presiden berubah, partai yang kalah di pilpres bisa berbalik mendukung presiden yang terpilih. Pemberian mandat kepada presiden tidak secara langsung, tetapi masyarakat terlebih dahu memberikan manadat kepada legislatif (anggota DPR dari berbagai partai politik). Hasil pemilu legislatif dijadikan acuan syarat untuk pencalonan presiden, sehingga pelaksanaan sistem presidensial tidak berjalan secara murni. Pemilu dengan mekanisme tersebut telah berlangsung sampai dengan tahun 2014. Fata empiris pelaksanaan presidensial yang tidak murni dijadikan dalil untuk gugatan ke Mahkamah Konstitusi, hasilnya tahun 2019 pemilu legislatif dilaksanakan serentak dengan pemilihan eksekutif.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif secara serentak seharusnya tidak lagi berlaku presidensial threshold. Hasil Pemilu legislatif belum mempunyai hasil untuk dijadikan prasyarat pengajuan calon presiden, maka tidak ada alasam untuk menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai syarat pemilihan presiden (pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan bersama). Namun demikian, dalam UU No. 7 tahun 2017 terdapat kesalahana dalam mekanisme pencalonan presiden. Kesalahan tersebut terletak pada pemberlakuan kembali hasil pemilu legislatif sebagai prasyarat pilpres (presidensial threshold). Yang lebih parah adalah presidensial threshold yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif yang sudah terjadi sebelumnya. Dari segi konfigurasi politik sangat mungkin hasilnya tidak sama dengan pemilu yang sedang berjalan. Bisa jadi partai pemenang pemilu tidak memiliki suara yang signifikan di pemilu selanjutnya, bisa jadi pada pemilu 2014 PDI Perjuangan menjadi partai pemenang pemilu tapi di pemuli 2019 menjadi partai dengan suara terkecil, atau sebaliknya partai-partai baru mempunyai suara signifikan dan menjadi pemenang pemilu di tahun 2019. Meminjam bahasa Efendi Ghazali, ‘masyarakat dituntut untuk jadi ahli nujum (peramal) presiden selanjutnya, masyarakat memilih partai pada pemilu saat ini untuk menentukan presiden lima tahun yang akan datang’.
Adanya Presidensial threshold yang berlaku di Indonesia menjadikan pelaksanaan sistem presidensial tidak murni dan bertentangan dengan konstitusi (UUD NRI 1945). Ambang batas pencalonan yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 6A(2) yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Sangat mudah dalam memahami pasal ini, partai politik atau gabungan partai politik yang sudah ditetapkan KPU menjadi peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden. KPU telah menetapkan 14 partai politik sebagai peserta pemilu 2019, empat diantaranya merupakan partai baru. Jika mengacu pada UUD 1945 pasal 6A(2) maka 14 partai politik yang telah di tetapkan KPU mempunyai hak untuk mencalonkan presiden. Akan tetapi jika mengacu pada UU pemilu No.7 Tahun 2017, empat partai politik baru peserta pemilu tidak memunyai kewenangan untuk mengusung presiden. Dengan kata lain jika partai baru tidak memiliki suara di pemilu sebelumnya maka tidak akan dikjadikan prasyarat untuk pencalonan presiden di tahun 2019. Hak partai politik yang tercantum dalam UUD pasal 6A(2) terhalangi oleh UU No.7 Tahun 2017. Undang-undang pemilu tesebut bertentangan dengan landasan konstitusi yang lebih tinggi, seharusnya undang undang tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945. Yang mengkhawatirkan, MK telah memutuskan ‘menolak Judicial Rivew pasal 222 dalam UU No. 7 Tahun 2017’. MK beralasan bahwa presidential threshold sangat relevan untuk  memperkuat sistem presidensial, sehingga presiden yang terpilih bisa memiliki kekuatan di parlemen. Alasan MK tersebut bertentangan dengan prinsip sistem presidensial yang murni.
Konsekuensi dari ditetapkannya presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) bagi sejumlah partai politik adalah tidak dapat mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden. Partai politik yang tidak mempunyai suara di parlemen terpaksa mendukung calon presiden yang tersedia dengan dukungan gabungan partai yang memebuhi ambang batas pencalonan. Partai politik baru tidak mempunyai kehendak atau kekuatan politik untuk menyampaikan aspirasi dan tawaran calon alternatif untuk masyarakat akibat tidak memiliki suara di parlemen, bisa jadi calon yang ditawarkan partai tanpa suara di parlemen mendapat dukungan mayoritas masyarakat Indnesia, dengan kata lain mendapat mandat rakyat untuk menjadi Presiden RI.
DPR yang pro terhadap ambang batas pencalonan presiden beralasan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden adalah untuk memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia dan sistem presidensial. Namun demikian, sulit untuk mencari keterkaitan logis antara ambang batas pencalonan presiden dengan sistem presidensial. Alih-alih penguatan kualitas demokrasi di Indonesia, presidensial threshold justru akan membatasi hak berdemokrasi sebagian partai politik yang tidak memiliki suara di parlemen dan telah ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu, selain itu masyarakat tidak mempunyai pilihan calon presiden alternatif karena kemungkinan besar calon peresiden tidak akan banyak perubahan. Potensi ketidak sertaandalam pemilu sangat besar. Semakin banyak calon presiden, maka masyarakat akan mempunyai banyak pilihan yang sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia. Dengan begitu demokrasi yang berjalan di Indonesia akan semakin berkualitas.
Tanpa adanya presidensial threshold tidak menadi jaminan pula bahwa calon presiden akan sebanyak partai peserta pemilu. Tergantung dengan dinamika politik yang terjadi, sehingga memungkinkan akan terjadi koalisi antar partai yang lebih murni. Koalisi yang terbangun antar partai bukan atas dasar pemenuhan syarat ambang batas pencalonan (presidensial threshold), melainkan atas aspirasi dari partai politik peserta pemilu untuk ditawarkan kepada masyarakat sebagai pemilih. Jika kemudian banyak calon presiden, dalam UUD 1945 diatur sangat jelas mengenai keterpilihan presiden. Pasal 6A (3) UUD NRI tahun 1945 berbunyi “pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. Dari sekian banyak calon presiden tidak ada yang memenuhi syarat suara lebih dari lima puluh persen maka akan ada putaran kedua untuk menentukan presiden dengan suara mayoritas pemilih rakyat Indonesia, bukan dari suara mayoritas di parlemen. Sistem presidensial lebih murni dilaksanakan tanpa adanya presidensial threshold sebagai syarat yang harus dipenuhi calon presiden. DPR sebagai lembaga legislatif tidak terkait dengan pencalonan presiden sebagaimana yang berlaku dalam sistem parlementer, dimana legislatif menjadi acuan untuk pemilihan eksekutif.
Dinamika Pasca Pilpres 2014
Pada pilpres 2014 lalu, terdapat dua pasangan calon presiden. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta mempunyai dukungan parlemen lebih banyak dari pasangan Jokowi-JK. Pasangan calon Prabowo-Hatta mendapat dukungan dari partai Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat membentuk Koalisi Merah Putih (KMP) dengan perolehan suara di DPR 63,54%  atau 59,52% suara hasil pemilu legislatif nasional. Sementara pasangan Jokowi-JK berasal dari PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI membentuk Koalisi Indonesia Henat (KIH) dengan perolehan suara di DPR sebanyak 36,46% suara di DPR atau 40,38% suara hasil pemilu legilatif. KPU menetakan pasangan Jokowi Dodo dan Jusuf Kala sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dengan perolehan suara 53,15% suara masyarakat mengungguli pasangan Prabowo  Subianto dan Hatta Rajasa dengan perolehan suara 46,85%. Hal ini menunjukan suara di parlemen bukan menjadi jaminan keterpilihan presiden, pada akhirnya suara rakyat mayoritas yang menentukan presiden yang terpilih, bukan suara mayoritas di parlemen.
Partai pendukung Prabowo-Hatta membentuk koalisi permanenn (KMP) untuk menjalankan pengawasan sebagai  salsah satu fungsi legislatif dan mengimbangi pemerintah. Pada awalnya koalisi pendukung Jokowi-JK (KIH) yang memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden hanya di dukung suara minoritas di parlemen. KMP sebagai pendukung pasangan Prabowo-Hatta menguasai parlemen. Alat kelengkapan dewan dikuasai partai-partai yang tergabung di KMP, pimpinan DPR dan MPR berasal dari partai-partai pendukung Prabowo-Hatta. KIH sebagai koalisi partai pemerintah tidak mampu menempatkan perwakilannya di pimpinan DPR maupun MPR.
Seiring berjalan waktu, dinamika politik yang terjadi mengubah peta di parlemen. Satu-persatu partai-partai anggota KMP mulai berbalik arah mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Mulai dari PPP yang sejak awal pemerintahana Jokowi-JK salasatu kadernya sudah menjadi bagian dari pemerintah, adalah Lukman Hakim Syaifuddin menjabat sebagai mentri agama sejak pemerintahan SBY (menggantikan Surya Dharma Ali karena tersangkut kasus korupsi) sampai pemerintahan Jokowi-JK. Perpindahan PPP dari KMP ke KIH (pemerintah) di ikuti partai Golkar yang ditetapkan secara resmi dalam Munaslub karena dualisme pengurus partai, PAN menjadi partai terakhir yang pindah haluan menjadi partai pemerintah. Sementara Demokrat memilih untuk menjadi partai penyeimbang, tidak menjadi partai pemerintah dan dan tidak bergabung secara resmi di KMP, sehingga tersisa Gerindra dan PKS yang masih setia(PBB tidak memiliki kursi di Parlemen). Nasib KMP menjadi semakin tidak jelas, bisa jadi rapuhnya koalisi permanen disebabkan ketidak jelasan arah politik di KMP dan kecenderungan beberapa partai untuk terus berkuasa berada dalam pemerintahan. Partai-partai pemerintah menjadi semakin kuat, pendukung Jokowi-JK mendapat suara mayoritas di DPR/MPR sebanyak 69 persen kursi di DPR.
Partai-partai pendukung Jokowi-JK mendeklarasikan koalisi tanpa syarat, didukung beberapa kali pernyataan Jokowi yang mengatakan tidak ada bagi-bagi menteri dalam kabinetnya. Koalisi tanpa syarat seakan hanya menjadi lip service untuk kepentingan politik elektoral. Pasca ditetapkan sebagai pemenang pilpres, Jokowi menyusun kabinet yang berasal dari partai-partai pendukung. Diantaranya Menteri Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan selalu dijabat oleh kader partai politik yaitu Tedjo Edhi Purdijatno yang merupakan kader partai NasDem, yang kemudian di gantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan pentolan Partai Golkar (meskipun sejak awal LBP adalah bagian dari anggota kabinet kerja Jokowi, akan tetapi Luhut merupakan tim pendukung pasangan Jokowi-JK dalam pilpres), dan terakhir menkopolhukanm dijabat oleh Wiranto pendiri dan mantan ketua umum partai Hanura, Wiranto mundur dari jabatan ketua umum partai Hanura pasca ditetapkan sebagai Menkopolhukam. Nama-nama lain dalam kabinet kerja Jokowi-JK yang merupakan mentri diantaranya berasal dari PDI Perjuangan; Puan Maharani sebagai Menko PMK, Tjahjo Kumolo sebagai Mendagri, Yasona Laoly sebagai Menkumham, Anak Agung Gede Puspayoga sebagai Menteri Koprasi dan UKM. Dari partai Hanura; Saleh Husin sebagai Mentreri Perindustrian dan Yudi Chisnandi sebagai MenPAN-RB. Dari Partai NasDem; Enggar Tiasto Lukita sebagai Menteri Perdagangan dan Ferry Mursyidan Baldan. Dari PKB; Hanif Dakhiri sebagai menteri Ketenagakerjaan, dan Marwan Ja’far sebagai Menteri Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal, kemudian Eko Putro Sandjojo menggantikan Marwan Ja’far yang juga kader PKB, dan Imam Nahrawi sebagai Menpora. Dan dari PPP ada Lukman Hakim Syaifuddin yang sejak awal menjabat Menteri Agama. Partai Golkar dan PAN pada akhirnya mendapat kursi mentri pasca bergabung dengan pemerintah, Airlangga Hartanto dan Idrus Marham perwakilan dari Golkar yang masuk pemerintah, dan PAN menempatkan Asman Abnur sebagai MenPAN-RB. Kader partai di Kabinet Kerja bisa di kalkulasikan sebagai berikut: PDI Perjuangan menempatkan 4 orang, PKB menempatkan 3 orang, Golkar menempatkan 3 orang, Partai NasDem menempatkan 2 orang, Partai Hanura, PPP dan PAN masing-masing menempatkan satu orang kadernya sebagai menteri. Selain di posisi mentri, Jokowi juga menempatkan kader partai politik sebagai pejabat setingkat menteri, diantaranya Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang sebelumnya merupakan kader partai NasDem, dan Pramono Anung yang juga merupakan kader PDI Perjuangan.
Perombakan menterti atau reshufle kabinet kerja dilakukan Jokowi seiring dengan dinamika politik yang terjadi, bertambahnya partai pendukung pemerintah menandai ada pergeseran dan pergantian posisi menteri. Fakta tersebut menbuktikan Presiden Jokowi dan partai pendukungnya telah menjilat lud ah sendiri. Yang lebih parah adalah, pernyataan Jokowi yang mengatakan Menteri dalam kabinet kerja tidak boleh rangkap jabatan di partai politik, hal itu tidak berlaku bagi ketua umum Partai Golkar. Standar ganda berlaku bagi Arilangga Hartanto yang merupakan Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.
Banyaknya komposisi kader partai dalam kabinet kerja Jokowi-JK menunjukan sikap inkonsistensi antara ucapan ketika masa pencalonan dengan kenyataan setelah menang. Revolusi mental yang dianggap sebagai terobosan untuk membangun suprastruktur masyarakat Indonesia belum banyak yang dirasakan, gebrakan Jokowi lebih banyak terlihat pada sektor inprastruktur. Janji-janji Jokowi belum banyak terbukti, benyak problematika yang terjadi, masyarakat belum melihat solusi yang pasti.
Mayoritas anggota DPR saat ini merupakan pendukung Jokowi-JK menunjukan suprioritas pemerintah dalam menguasai parlemen. Fungsi-fungsi DPR harus profesional diantaranya: fungsi sebagai legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta sebagai penyerap aspirasi masyarakat. Meskipun berasal dari partai pendukung pemerintah, DPR dituntut untuk bekerja profesional, tidak hanya sekedar persetujuan atas kebijakan dan langkah eksekutif tanpa mempertimbangkan suara-suara masyarakat. Meminjam lirik Iwan Fals “wakil rakyat, bukan paduan suara, hanya tau nyayian lagu setuju”.
Dalam hal hubungan dengan presidensial threshold, pemilu 2014 telah menunjukan suara mayoritas di DPR tidak menjadi jaminan untuk prasyarat pencalonan, dengan dinamika yang terjadi sangat potensial untuk politik setiap partai berubah. Legislatif dan eksekutif mempunyai kamar kerja yang berbeda, pembagian fungsi tersebut apabila dilaksanakan sesuai dengan posisinya akan menunjang kualitas demokrasi serta pelaksanaan konstitusi dan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
Meraba Peta Politik 2019
Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang pelaksanaan pemilu telah ditetapkan DPR, pasal 222 yang menjadi poin kontroversi harus diterima oleh semua pihak yang kontra. MK telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan atas ayat-ayat konstitusi yang dianggap kontroversi. Pelaksanaan pimilu 2019 harus dilaksanakan sesuai dengan ketetapan dalam undang-undang. Meskipun pada awalnya banyak pihak menggugat undang-undang pemilu yang dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan norma UUD NRI 1945 dan prinsip pelaksanaan sistem presidensial yang murni, undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan sebagai acuan penyelenggaraan pemilu 2019. Adanya ambang batas pencalonan presiden menutup kemungkinan partai baru mencalonkan sendiri kadernya di bursa pilpres 2019. Partai baru disuguhkan pasangan calon yang telah mendapat dukungan partai pemilik kursi parlemen pemilu sebelumnya.
Berkaca dari pemilu tahun 2014 yang dijadikan acuan ambang batas pencalonan presiden maka setidaknya ada tiga potensi pasangan calon. Beberapa peneliti memprediksi Megawati, Prabowo, dan SBY masih menjadi tokoh sentral penentu peta calon presiden. Perolehan suara di DPR memberikan gambaran kemungkinan terbesar hanya terdapat dua calon, yaitu rematch Jokowi dan Prabowo. Poltraking membuat empat simulasi pencalonan; Pertama, dengan tiga poros saling berhadapan yakni poros Megawati dengan calon Jokowi, berhadapan dengan poros Prabowo, dan Poros SBY; Kedua, poros koalisi Jokowi dan SBY melawan poros Prabowo; Ketiga, poros Jokowi melawan poros Prabowo dan SBY; Keempat, poros Jokowi dan Prabowo melawan Poros SBY. Simulasi dihadirkan dengan segala kemungkinan, dari kemungkinan terkecil sampai kemungkinan terbesar. Simulasi pertama dan keempat yang dianggap paling memungkinkan, kepiawaian SBY dalam berkomunikasi membangun koalisi terbukti seperti halnya dalam pilkada DKI, ketiga poros akan saling berhadapan. Simulasi ketiga juga dianggap berpotensi besar, melihat hasil perolehan suara di DPR, partai Demokrat memerlukan dua partai tambahan dianggap cukup sulit maka pilihannya adalah bergabug dengan poros Prabowo seperti yang terjadi di pemilu presiden 2014.
Sejumlah nama ditawarkan ke publik untuk menjadi pemimpin, nampun secara garis besar partai politik terpolarisasi pada dua kubu. Kelompok yang menginginkan kembali Jokowi sebagai presiden dan kelompok yang menginginkan adanya calon lain. Nama-nama muncul, dari mulai Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Jendral Gatot Nurmantyo, TGB Muhammad Zainul Majdi, Agus Harimurti Yudhoyono seringkalli hadir dalam perbincangan bagi dalam jagat media sosial atau diskusi-diskusi politik.
Rilis hasil survey yang dilakukan Poltraking masih menempatkan Jokowi dengan elektabilitas tertinggi, unggul dengan angka 55,9% kemudian disusul Prabowo mendapat elektabilitas 29,9%. Selebihnya tertinggal jauh di angka 2%, ada Anies Bawedan, Gatot Nurmantyo, dan Agus Harimurti Yodhoyono. Hal ini memperkuat kemungkinan Jokowi-Prabowo bertarung kembali di Pilpres 2019. Ada kecenderungan naiknya elektabilitas Jokowi dan Prabowo sejak akhir 2017. Jokowi mengalami kenaikan sekitar 4,1% dan Prabowo mengalami kenaikan sekitar 2,9%. Dari dua nama yang kuat, masing sangat terbuka peluang bagi calon alternatif muncul. Nama-nama yang bertarung dipilkada muncul sebagai pilihan lain dan sangat berpotensi sebagai penantang kuat melihat proses yang masih panjang dan belum ada calon definitif. Dalam survey LSI Denny JA masih menempatkan Jokowi dan Prabowo sebagai calon tertinggi. Jika dikalkulasikan pendukung Jokowi dan non Jokowi, posisi Jokowi masih kuat paling dengan elektabilitas paling tinggi.
Dalam beberapa bulan kedepan, kinerja Jokowi akan sangat mempengaruhi elektabilitas. Persoalan ekonomi, ketimpangan sosial, isu SARA dan radikalisme menjadi problem yang belum diselesaikan Jokowi. Kepuasan masyarakat terhadap konerja Jokowi tinggi dengan informasi yang disuguhkan media dalam hal pembangunan infrastruktur. Akan tetapi dalam hal suprastruktur belum begitu dirasakan oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini akan menjadi batu sandungan Jokowi menghadapi pilpres mendatang, terlebih janji-janji yang ditawarkan tahun 2014 yang belum terpenuhi akan menjadi isu sentral menganjal Jokowi. Sehingga calon alternatif lah yang diharapkan mampu mengatasi segala problematika yang belum dituntaskan Jokowi.
Partai-partai politik penantang petahana menghadapi kesulitan besar untuk menghadirkan calon alternafir sampai menjadi calon definitif. Kendala tersebut adalah kekuatan partai politik yang tidak memiliki kursi cukup sebagai syarat. Salah satu penghambat sulitnya mencari tokoh alternatif capres tersebut yakni aturan Pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Calon alternatif yang bisa disandingkan dengan Jokowi sebagai capres adalah Gatot Nurmantyo dan TGB Zainul Majdi. Jika walam injury time calon alternatif mampu merebut hati masyarakat dan menyakinkan partai politik untuk mendukungnya.
Dalam hitungan bulan, calon presiden harus sudah mempersiapkan dukungan yang cukup dari partai politik. Pun sebaliknya, partai politik harus menentukan calon presiden yang akan diusung sekaligus membangun koalisi. Sejauh ini tidak ada partai yang bisa mencalonkan sendiri tanpa ada dukungan dari partai lain. PDIP merupakan pemenang pemilu legislatif sekalipun harus mendapat dukungan partai lain, namun demikian posisi PDIP paling aman untuk mengusungcalon. Beberapa partai-partai pemerintah dipredisksi kuat akan kembali mengusung Jokowi sebagai calon presiden, tinggal kesepakatan koalisi menentukan calon wakil presiden yang diharapkan mampu mengisi ruang kosong dan melengkapi kekurangan.
Satu persatu partai politik telah mendeklarasikan dungan terhadap calon presiden yang akan di usung. Sampai saat ini terdapat  lima partai yang telah mendeklarasikan dukungan terhadap Joko Widodo sebagai calon presiden pada pemilu 2019. Diawali PPP dalam Muskernas yang dilaksanakan pada hari Jumat pada hari Jumat, 21 Juli 2017; dilanjutkan oleh partai Hanura pada tanggal 4 Agustus 2017; kemudian NasDem pada hari Rabu, 15 November 2017; selanjutnya deklarasi ulang dukungan partai Golkar tanggal 18 Desember 2017, sebelumnya di era ketua umum Setya Novanto telah lebih dulu mendeklarasikan dukungannya terhadap pencalonan Jokowi; terakhir dalam Rakernas PDIP, Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden oleh ketua umumnya Megawati Soekarno Putri. Posisi Jokowi semakin aman menghadapi pilpres mendatang, setidaknya syarat ambang batas suara di parlemen telah terpenuhi. Meskipun ada partai yang mencabut dukungan, posisi Jokowi masih aman.
Tersisa lima partai yang belum mendeklarasikan calon presiden, yakni Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan PKB. Gerindra masih menawarkan sosok ketua umumnya, PKS memberi sembilan tokoh internal yang merupakan kader partai, semetara PAN mengeluarkan nama Zulkifli Hasan sebagai calon Presiden yang juga merupakan ketua umumnya mulai melakukan safari politik keberbagai daerah, Demokrat masih malu-malu kucing dengan calon yang di tawarkan namun publik melihat AHY adalah sosok yang di tawarkan Demokrat, sementara PKB rajin mengkampanyeukan Cak Imin sebagai calon wakil yang pas, entah itu wakil Jokowi atau wakil calon presiden lain. Publik akan melihat dinamika yang terjadi beberapa bulan mendatang sampai Agustus yang ditetapkan sebagai masa pencalonan presiden dan wakil presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar