Menjelang tahun
2019 suasana politik senakin memanas, 2018 dianggap sebagai tahun politik yang
dijadikan persiapan lebih matang menghadapi pemilihan umum baik legislatif
maupun eksekutif. Pilkada tahun 2018 sebagai memontum memanaskan mesin partai, pemantapan
persiapan, ajang konsolidasi serta
penjajakan berbagai kemungkinan
membangun koalisi lintas partai, dengan kata lain pilkada 2018 adalah simulasi
menjelang pemilu yang dilaksanakan serentak, pilpres dan pileg secara langsung.
Pilkada dianggap sebagai momentum menancapkan kuku-kuku partai politik disemua
daerah.
Partai Gerindra, PKS, dan PAN cenderung lebih
banyak membangun koalisi pilkada. Koalisi disepakati di lima provinsi,
diantaranta Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan lain sebagainya.
Gabungan partai ini memberi signal kemungkinan akan linear dengan pilpres 2019,
meskipun demikian dinamika politik yang terjadi memungkinkan peta politik masih
bisa berubah. Begitu pula dengan partai-partai lainnya, dalam pilkada koalisi
yang terbangun antar partai sangat cair dalam menentukan dukungan terhadap calon
yang akan diusung. Detik-detik menjelang pilkada bongkar pasang calon ikut
memanaskan dinamika politik.
Di Jawa Barat sempat terjadi bongkar pasang
peralihan dukungan terhadap calon, apa yang dialami Deddy Mizwar dan Dedi
Mulyadi, Ridwan Kamil dan UU, pasangan Sudrajat dan Syaikhu, serta pasangan TB Hasanudin dan
Anton menggambarkan peta politik Jawa Jarat yang begitu dinamis. Campur aduk
antara kepentingan masyarakat dan partai politik. Manuver Gerindra mengalihkan
dukungan dari Deddy Mizwar merupakan satu langkah yang mengejutkan publik
Jabar, sebelumnya Gerindra, PKS, dan PAN mantap mendukung Deddy Mizwar dan
Ahmad Syaikhu namun seiring dinamika yang terjadi Gerindra bersama PKS dan PAN
berpindah haluan, PKS, PAN dan Gerindra sepakat mengusung Sudrajat Syaikhu.
Golkar yang sebelunya mendukung Ridwan Kamil pun berubah haluan pasca Setya
Novanto tidak lagi menjabat sebagai ketua umum. Golkar dan Demokrat pada
akhirnya sepakat membuat koalisi sejajar untuk pilgub Jabar. Ridwan Kamil yang
sempat terancam tidak mengantongi dukungan cukup akhirnya bisa bernafas lega
setelah menjaleng akhir mendapat kesepakatan partai koalisi untuk mengusung
Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Yang mengejutkan adalah langkah PDIP
mengusung TB Hasanudin dan Anton Charlian, kedua tokoh ini sama-sama dianggap
kalah popular dibandung Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar, terlebih keberanian PDIP
mengusung pasangan tanpa dukungan dari partai lain. Kekuatan PDI yang memiliki
20 persen kursi di DPRD Jabar merupakan salasatu faktor PDIP mampu mengusung
sendiri pasangan alon.
Di Jawa Timur, mundurnya Azwar Anas digantikan
oleh Puti Guntur mendampingi Gus Ipul sebagai passangan cagub dan cawagub
sempat menjadi perbincangan hangat, apa lagi pilkada Jawa Timur merupakan rematch
antara Gus Ipul dan Khofifah yang sebelumnya telah bertarung. Ada hal yang
menarik dalam koalisi gabungan partai di Jawa Timur, terdapat PDIP, Gerindra
dan PKS sama-samam satu barisan mendukung Gus Ipul, yang tentunya akan berdampak
pada pilpres mendatang. Banyak pengamat yang menilai pertarungan di Jawa Timur
bisa disebut all final Jokowi, karena keduanya mempunya irisan dengan
Jokowi. Khofifah sebelumnya merupakan Menteri Sosial dalam kabinet kerja
Jokowi, sementara Gus Ipul dan Puti pertama kali mendapat dukudungan dari PKB
dan PDIP, dua partai pemerintahan Jokowi. Kondisi sosial dan keagamaan di Jawa
Timur yang kental dengan masyarakat Islam tradisional menjadi pertimbangan
partai dalam menentukan calon, disinilah merupakan basis nahdliyin dan keduanya
merupakan kader dari Ormas NU, maka dipastikan Pilgub Jawa Timur adalah all
final NU.
Di Jawa Tengah pun demikian, sebagai salasatu
provinsi terpadat menjadi titik perhatian partai politik untuk menentukan calon
tepat. Superiositas incumbent yang selalu di unggulkan dalam
survey-survey adalah tantangan besar bagi para kompetitornya. Jawa Tengah
adalah basis terkuat PDIP dengan menempatkan kader-kadernya sebagai kepala
daerah. PDIP juga memiliki kursi terbanyak di DPRD Jawa Tengah. Ganjar Pranowo
yang berhadapan dengan Sudirman Said adalah sala satu gambaran pertarungan dua
kutub, Jokowi dan Prabowo. Tiga provinsi di pulau Jawa merupakan daerah yang
terpadat penduduk dibanding wilayah lain di Indonesia, maka sebisa mugkin
partai politik harus bisa tampil maksimal sehingga berdampak pada naiknya
elektoral partai. Jawa adalah kunci, kalimat itu masih relevan sampai sekarang.
Dinamika pilkada juga hangat terjadi di
Sumatra Utara, bongkar pasang dukungan terhadap calon yang akan berlaga juga
terjadi di Sumatra Utara. Tengku Erry, Gubernur petahana harus merelakan untuk
tidak berlaga di pilgub karena tidak mengantongi cukup dukungan kursi DPRD yang
menjadi prasyarat. Sehingga harus merelakan partainya megalihkan dukungan ke
paslon lain. Gerindra, PKS, dan PAN membangun komunikasi politik sampai ke
Sumut, dukungannya ke Edi Ramayadi diikuti partai lain yang tidak cukup
mengusung calon sendiri, Nasdem dan Golkar akhirnya bergabung mendukung
pasangan Edi Ramayadi dan Ijek. Masuknya Djarot Syaiful Hidayat ke Sumut
merupakan satu kejutan, Djarot yang sebelumnya kalah berlaga di DKI mencoba
peruntungannya di Sumut berpasangan dengan Sihar Sitorus. Pertanyaan bersar
muncul dimasyarakat, kenapa PDIP tidak memasang kader-kadernya yang juga
beradarah Sumut. Majunya Djarot di pilgub sempat mengalami kendala dukungan, suara PDIP tidak
cukup untuk mengusung paslon harus mampu membangun koalisi dengan partai lain,
PPP adalah partai yang memungkinkan untuk melengkapi kekurangan kursi PDIP.
Yang paling memprihatinkan adalah musibah yang dialami Demokrat, PKB dan PKPI,
calon yang mereka usung sempat dinyatakan tidak lolos oleh KPUD. JR Saragih
dianggap tidak mempu melengkapi berkas syarat pendaftaran calon. Pukulan telak
dialami kader Demokrat yang juga bupati Simalungun harus rela absen dalam
kontestasi pilgub Sumut. Walaupun akhirnya Bawaslu menganulir keputusan KPUD
dan menetapkan JR Saragih bisa mengikuti Pilkada Sumut.
Masih banyak daerah lain yang sama-sama
melaksanalan pikada serentak, keterbatasan partai politik dalam memenuhi
persyaratan menjadi tantangan tersendiri. Adanya ambang batas pencalonan
menuntut partai politik harus mampu membangun koalisi dan melakukan komunikasi
efektis demi terciptanya kesepakatan dalam mengusung calon. Dengan adanya
ambang batas pencalonan, partai politik tidak bebas mencalonklan sendiri
kadernya untuk berlaga. Win-win solution harus di tempuh untuk
mengakomodir kepentingan politik setiap partai, disamping itu juga kepentingan masyarakat
banyak yang tidak boleh dinafikan setiap partai politik demi terciptanya
kualitas demorasi yang lebih baik. Kader partai yang memiliki potensi kuat dan
kapasitas yang mumpuni untuk memimpin daerahnya tidak jaminan mendapat tiket
dengan mudah. Pilihan untuk maju independen bukan tantangan mudah, aturan calon
independen harus mampu mendapat dukungan yang banyak dari masyarakat menjadi
syarat mutlat yang harus di penuhi. Seperti halnya di pilgub Sulawesi
Selelatan, Ihsan Yasin Limpo mampu memenuhi syarat dukungan untuk maju di
pilkada Sulsel. Kepiawaian IYL di Sulsel bukan hal yang mudah dilaksanakan di
daerah-daerah lain. Jika berandai-andai tanpa persyaratan ambang batas calon,
maka calon pemimpin yang ditawarkan kepada masyarakat akan lebih beragam.
Pemimpin yang berkualitas dan berkapasitas tinggi akan lebih mudah terjaring
sebagai tawaran mengatasi berbagai solusi di masyarakat. Fungsi partai politik
sebagai produsen pemimpin akan lebih maksimal dengan keleluasaan partai politik
menawarkan calon diharapkan masyarakat.
Tantangan lain yang harus dihadapi calon
pemimpin adalah cost politik begitu besar. Mahar politik sebagai ongkos
yang harus dipenuhi menjadi rahasia umum yang sudah diketahui. Politik tanpa
mahar yang digaungkan beberapa partai politik, pada kenyataanya tidak sesuai
dengan realita yang terjadi, mahar politik bisa berupa uang atau kesepakatan
dengan berbagai pihak dianggap mampu membantu proses pencalonan. Pada akhirnya,
Indonesia menampilkan proses politik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
pancasila. Praktek politik kapitalistik dan demikrasi liberal sejatinya terjadi
di Indonesia, bukan demokrasi pancasila yang selama ini menjadi penghias bibir
para elit politik.
Polemik Presidential Threshold
Indonesia merupakan negara yang menganut
sistem Presidential dalam pelaksananaan pemerintahannya. Dalam sistem
presidensial, presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
Kedudukan eksekutif dan legislatif mempunyai posisi yang berbeda, presiden
tidak memiliki ketergantungan terhadap lembaga legislatif. Kekuatan eksekutif
presiden diangkat oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi. Presiden memiliki
wewenang untuk membentuk dan menyusun kabinetnya, megangkat dan memberhentikan
mentri, sehingga mentri dalam kabinetnya bertanggung jawab terhadap presiden.
Sistem pemerintahan presidensial Indonesia diatur dalam UUD 1945 hasil
amandemen sesuai konstitusi.
Presiden Indonesia dipilih dalam pemilihan
umum yang diatur di Undang-undang Republilk Indonesia Nomor 7 Tahun 2017.
Pengesahan UU tentang pemilu memuai konflik dan prokontra dari berbagai
kalangan, khususnya mengenai ketentuan ambang batas pencalonan presiden (Presidential
threshold) yang terdapat dalam pasal 222. Dalam pasal tersebut mengatur ketetuan
pencalonan presiden, syarat batas pencalonan presiden dan wakil presiden
setidaknya harus memiliki minimal 20 persen suara di DPR atau 25 persen suara
partai politik atau gabungan partai politik hasil pemilu.
Presidensial threshold sebagai acuan syarat
pencalonan presiden munuai polemik dan dianggap bertentangan dengan prinsip
pemerintahan dengan sistem prsidensiil yang menjadi salasatu pertimbangan
pemilu serentak di tahun 2019. Bila ditinjau secara yurudis, presidensial
threshold bertentangan dengan konstitusi terutama dalam UUD 1945 Bab III Pasal
6A ayat (2) yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum”. Selanjutnya
pelaksanaan pemilihan umum diatur dalam UUD 1945 Bab VIIB tentang Pemilihan
Umum pasal 22E ayat (2) yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Maka dari segi
teoritik dan empirik, sulit untuk mencari pembenaran yang kuat dengan adanya
ambang batas pencalonan presiden. Jika
dengan adanya presidential threshold diasumsikan untuk
meningkatkan kualitas sistem presidensial dan demokrasi adalah alasan yang
sangat lemah, sepanjang sejarah pemilihan presiden secara langsung di Indonesia
partai pengusung calon presiden tang terpilih bukan dari partai atau gabungan
partai yang meiliki suara mayoritas di DPR.
Adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential
threshold), pemilu legislatif menjadi prasyarat untuk pencalonan presiden
Indonesia akan memcampuradukan sistem presidensial dan sistem parlementer.
Dalam sistem parlementer, mandat rakyat berupa hasil pemilu satu arah kepada
partai politik untuk duduk di parlemen, kemudian parlemen (yang terdiri dari
partai politik) kepada eksekutif (berupa perdana menteri), selanjutnya partai
atau gabungan partai (dengan suara manyoritas) mencalonkan dan mengangkat
perdana menteri. Dengan kata lain, dalam sistem parlementer hasil pemilu
legislatif menjadi prasyarat untuk terbentuknya eksekutif. Gabungan partai
politik menjadi suara mayoritas yang memenangkan suara untuk pemilihan perdana
mentri. Logika sistem persidential ini lah yang sesungguhnya telah bercampur
aduk dengan sistem parlementer.
Dalam pelaksanaan sistem presidensial di
Indonesia, tidak dijalankan dengan sebenarnya. Pada kenyataanya sampai dengan
saat ini mekanisme sistem presidensial bercita rasa parlementer. Sampai dengan
tahun 2014, hasil pemilu dijadikan acuan untuk mengusung presidenm, meskipun
demikian suara di parlemen yang dijadikan syarat tidak menjadi jaminan
keterpilihan presiden. Pemilihan presiden secara langsung dipilih oleh rakyat
telah beberapa kali membuktikannya, presiden yang terpilih tidak mesti mendapat
dukungan mayoritas dari paremen, dinamika setelah pemilihan presiden berubah,
partai yang kalah di pilpres bisa berbalik mendukung presiden yang terpilih.
Pemberian mandat kepada presiden tidak secara langsung, tetapi masyarakat
terlebih dahu memberikan manadat kepada legislatif (anggota DPR dari berbagai
partai politik). Hasil pemilu legislatif dijadikan acuan syarat untuk pencalonan
presiden, sehingga pelaksanaan sistem presidensial tidak berjalan secara murni.
Pemilu dengan mekanisme tersebut telah berlangsung sampai dengan tahun 2014.
Fata empiris pelaksanaan presidensial yang tidak murni dijadikan dalil untuk
gugatan ke Mahkamah Konstitusi, hasilnya tahun 2019 pemilu legislatif
dilaksanakan serentak dengan pemilihan eksekutif.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif
secara serentak seharusnya tidak lagi berlaku presidensial threshold. Hasil
Pemilu legislatif belum mempunyai hasil untuk dijadikan prasyarat pengajuan
calon presiden, maka tidak ada alasam untuk menjadikan hasil pemilu legislatif
sebagai syarat pemilihan presiden (pemilu legislatif dan pemilu presiden
dilaksanakan bersama). Namun demikian, dalam UU No. 7 tahun 2017 terdapat
kesalahana dalam mekanisme pencalonan presiden. Kesalahan tersebut terletak
pada pemberlakuan kembali hasil pemilu legislatif sebagai prasyarat pilpres
(presidensial threshold). Yang lebih parah adalah presidensial threshold yang
digunakan adalah hasil pemilu legislatif yang sudah terjadi sebelumnya. Dari
segi konfigurasi politik sangat mungkin hasilnya tidak sama dengan pemilu yang
sedang berjalan. Bisa jadi partai pemenang pemilu tidak memiliki suara yang
signifikan di pemilu selanjutnya, bisa jadi pada pemilu 2014 PDI Perjuangan
menjadi partai pemenang pemilu tapi di pemuli 2019 menjadi partai dengan suara
terkecil, atau sebaliknya partai-partai baru mempunyai suara signifikan dan
menjadi pemenang pemilu di tahun 2019. Meminjam bahasa Efendi Ghazali,
‘masyarakat dituntut untuk jadi ahli nujum (peramal) presiden selanjutnya,
masyarakat memilih partai pada pemilu saat ini untuk menentukan presiden lima
tahun yang akan datang’.
Adanya Presidensial threshold yang berlaku di
Indonesia menjadikan pelaksanaan sistem presidensial tidak murni dan
bertentangan dengan konstitusi (UUD NRI 1945). Ambang batas pencalonan yang
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 6A(2) yang menyatakan bahwa pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Sangat mudah dalam
memahami pasal ini, partai politik atau gabungan partai politik yang sudah
ditetapkan KPU menjadi peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden. KPU telah
menetapkan 14 partai politik sebagai peserta pemilu 2019, empat diantaranya
merupakan partai baru. Jika mengacu pada UUD 1945 pasal 6A(2) maka 14 partai
politik yang telah di tetapkan KPU mempunyai hak untuk mencalonkan presiden.
Akan tetapi jika mengacu pada UU pemilu No.7 Tahun 2017, empat partai politik
baru peserta pemilu tidak memunyai kewenangan untuk mengusung presiden. Dengan
kata lain jika partai baru tidak memiliki suara di pemilu sebelumnya maka tidak
akan dikjadikan prasyarat untuk pencalonan presiden di tahun 2019. Hak partai
politik yang tercantum dalam UUD pasal 6A(2) terhalangi oleh UU No.7 Tahun
2017. Undang-undang pemilu tesebut bertentangan dengan landasan konstitusi yang
lebih tinggi, seharusnya undang undang tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI
1945. Yang mengkhawatirkan, MK telah memutuskan ‘menolak Judicial Rivew
pasal 222 dalam UU No. 7 Tahun 2017’. MK beralasan bahwa presidential threshold
sangat relevan untuk memperkuat sistem
presidensial, sehingga presiden yang terpilih bisa memiliki kekuatan di
parlemen. Alasan MK tersebut bertentangan dengan prinsip sistem presidensial
yang murni.
Konsekuensi dari ditetapkannya presidential
threshold (ambang batas pencalonan presiden) bagi sejumlah partai politik
adalah tidak dapat mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden. Partai
politik yang tidak mempunyai suara di parlemen terpaksa mendukung calon
presiden yang tersedia dengan dukungan gabungan partai yang memebuhi ambang
batas pencalonan. Partai politik baru tidak mempunyai kehendak atau kekuatan
politik untuk menyampaikan aspirasi dan tawaran calon alternatif untuk
masyarakat akibat tidak memiliki suara di parlemen, bisa jadi calon yang
ditawarkan partai tanpa suara di parlemen mendapat dukungan mayoritas
masyarakat Indnesia, dengan kata lain mendapat mandat rakyat untuk menjadi
Presiden RI.
DPR yang pro terhadap ambang batas pencalonan
presiden beralasan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden adalah untuk
memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia dan sistem presidensial. Namun
demikian, sulit untuk mencari keterkaitan logis antara ambang batas pencalonan
presiden dengan sistem presidensial. Alih-alih penguatan kualitas demokrasi di
Indonesia, presidensial threshold justru akan membatasi hak berdemokrasi
sebagian partai politik yang tidak memiliki suara di parlemen dan telah
ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu, selain itu masyarakat tidak
mempunyai pilihan calon presiden alternatif karena kemungkinan besar calon
peresiden tidak akan banyak perubahan. Potensi ketidak sertaandalam pemilu
sangat besar. Semakin banyak calon presiden, maka masyarakat akan mempunyai
banyak pilihan yang sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia. Dengan begitu
demokrasi yang berjalan di Indonesia akan semakin berkualitas.
Tanpa adanya presidensial threshold tidak
menadi jaminan pula bahwa calon presiden akan sebanyak partai peserta pemilu.
Tergantung dengan dinamika politik yang terjadi, sehingga memungkinkan akan
terjadi koalisi antar partai yang lebih murni. Koalisi yang terbangun antar
partai bukan atas dasar pemenuhan syarat ambang batas pencalonan (presidensial
threshold), melainkan atas aspirasi dari partai politik peserta pemilu untuk
ditawarkan kepada masyarakat sebagai pemilih. Jika kemudian banyak calon
presiden, dalam UUD 1945 diatur sangat jelas mengenai keterpilihan presiden.
Pasal 6A (3) UUD NRI tahun 1945 berbunyi “pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara
dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap provinsi
yang tersebar dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden”. Dari sekian banyak calon presiden tidak ada yang
memenuhi syarat suara lebih dari lima puluh persen maka akan ada putaran kedua
untuk menentukan presiden dengan suara mayoritas pemilih rakyat Indonesia,
bukan dari suara mayoritas di parlemen. Sistem presidensial lebih murni
dilaksanakan tanpa adanya presidensial threshold sebagai syarat yang harus
dipenuhi calon presiden. DPR sebagai lembaga legislatif tidak terkait dengan
pencalonan presiden sebagaimana yang berlaku dalam sistem parlementer, dimana
legislatif menjadi acuan untuk pemilihan eksekutif.
Dinamika Pasca Pilpres 2014
Pada pilpres 2014 lalu, terdapat dua pasangan calon
presiden. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta mempunyai
dukungan parlemen lebih banyak dari pasangan Jokowi-JK. Pasangan calon
Prabowo-Hatta mendapat dukungan dari partai Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP,
PBB, dan Demokrat membentuk Koalisi Merah Putih (KMP) dengan perolehan suara di
DPR 63,54% atau 59,52% suara hasil
pemilu legislatif nasional. Sementara pasangan Jokowi-JK berasal dari PDI
Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI membentuk Koalisi
Indonesia Henat (KIH) dengan perolehan suara di DPR sebanyak 36,46% suara di
DPR atau 40,38% suara hasil pemilu legilatif. KPU menetakan pasangan Jokowi
Dodo dan Jusuf Kala sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dengan
perolehan suara 53,15% suara masyarakat mengungguli pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dengan perolehan
suara 46,85%. Hal ini menunjukan suara di parlemen bukan menjadi jaminan
keterpilihan presiden, pada akhirnya suara rakyat mayoritas yang menentukan
presiden yang terpilih, bukan suara mayoritas di parlemen.
Partai pendukung Prabowo-Hatta membentuk
koalisi permanenn (KMP) untuk menjalankan pengawasan sebagai salsah satu fungsi legislatif dan mengimbangi
pemerintah. Pada awalnya koalisi pendukung Jokowi-JK (KIH) yang memenangkan
pemilihan presiden dan wakil presiden hanya di dukung suara minoritas di
parlemen. KMP sebagai pendukung pasangan Prabowo-Hatta menguasai parlemen. Alat
kelengkapan dewan dikuasai partai-partai yang tergabung di KMP, pimpinan DPR
dan MPR berasal dari partai-partai pendukung Prabowo-Hatta. KIH sebagai koalisi
partai pemerintah tidak mampu menempatkan perwakilannya di pimpinan DPR maupun
MPR.
Seiring berjalan waktu, dinamika politik yang
terjadi mengubah peta di parlemen. Satu-persatu partai-partai anggota KMP mulai
berbalik arah mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Mulai dari PPP yang sejak awal
pemerintahana Jokowi-JK salasatu kadernya sudah menjadi bagian dari pemerintah,
adalah Lukman Hakim Syaifuddin menjabat sebagai mentri agama sejak pemerintahan
SBY (menggantikan Surya Dharma Ali karena tersangkut kasus korupsi) sampai
pemerintahan Jokowi-JK. Perpindahan PPP dari KMP ke KIH (pemerintah) di ikuti
partai Golkar yang ditetapkan secara resmi dalam Munaslub karena dualisme
pengurus partai, PAN menjadi partai terakhir yang pindah haluan menjadi partai
pemerintah. Sementara Demokrat memilih untuk menjadi partai penyeimbang, tidak
menjadi partai pemerintah dan dan tidak bergabung secara resmi di KMP, sehingga
tersisa Gerindra dan PKS yang masih setia(PBB tidak memiliki kursi di
Parlemen). Nasib KMP menjadi semakin tidak jelas, bisa jadi rapuhnya koalisi
permanen disebabkan ketidak jelasan arah politik di KMP dan kecenderungan
beberapa partai untuk terus berkuasa berada dalam pemerintahan. Partai-partai
pemerintah menjadi semakin kuat, pendukung Jokowi-JK mendapat suara mayoritas
di DPR/MPR sebanyak 69 persen kursi di DPR.
Partai-partai pendukung Jokowi-JK
mendeklarasikan koalisi tanpa syarat, didukung beberapa kali pernyataan Jokowi
yang mengatakan tidak ada bagi-bagi menteri dalam kabinetnya. Koalisi tanpa
syarat seakan hanya menjadi lip service untuk kepentingan politik
elektoral. Pasca ditetapkan sebagai pemenang pilpres, Jokowi menyusun kabinet
yang berasal dari partai-partai pendukung. Diantaranya Menteri Kordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan selalu dijabat oleh kader partai politik yaitu
Tedjo Edhi Purdijatno yang merupakan kader partai NasDem, yang kemudian di
gantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan pentolan Partai Golkar
(meskipun sejak awal LBP adalah bagian dari anggota kabinet kerja Jokowi, akan
tetapi Luhut merupakan tim pendukung pasangan Jokowi-JK dalam pilpres), dan
terakhir menkopolhukanm dijabat oleh Wiranto pendiri dan mantan ketua umum
partai Hanura, Wiranto mundur dari jabatan ketua umum partai Hanura pasca
ditetapkan sebagai Menkopolhukam. Nama-nama lain dalam kabinet kerja Jokowi-JK
yang merupakan mentri diantaranya berasal dari PDI Perjuangan; Puan Maharani
sebagai Menko PMK, Tjahjo Kumolo sebagai Mendagri, Yasona Laoly sebagai
Menkumham, Anak Agung Gede Puspayoga sebagai Menteri Koprasi dan UKM. Dari
partai Hanura; Saleh Husin sebagai Mentreri Perindustrian dan Yudi Chisnandi
sebagai MenPAN-RB. Dari Partai NasDem; Enggar Tiasto Lukita sebagai Menteri
Perdagangan dan Ferry Mursyidan Baldan. Dari PKB; Hanif Dakhiri sebagai menteri
Ketenagakerjaan, dan Marwan Ja’far sebagai Menteri Pembangunan Desa dan Daerah
Tertinggal, kemudian Eko Putro Sandjojo menggantikan Marwan Ja’far yang juga
kader PKB, dan Imam Nahrawi sebagai Menpora. Dan dari PPP ada Lukman Hakim
Syaifuddin yang sejak awal menjabat Menteri Agama. Partai Golkar dan PAN pada
akhirnya mendapat kursi mentri pasca bergabung dengan pemerintah, Airlangga
Hartanto dan Idrus Marham perwakilan dari Golkar yang masuk pemerintah, dan PAN
menempatkan Asman Abnur sebagai MenPAN-RB. Kader partai di Kabinet Kerja bisa
di kalkulasikan sebagai berikut: PDI Perjuangan menempatkan 4 orang, PKB
menempatkan 3 orang, Golkar menempatkan 3 orang, Partai NasDem menempatkan 2
orang, Partai Hanura, PPP dan PAN masing-masing menempatkan satu orang kadernya
sebagai menteri. Selain di posisi mentri, Jokowi juga menempatkan kader partai
politik sebagai pejabat setingkat menteri, diantaranya Muhammad Prasetyo
sebagai Jaksa Agung yang sebelumnya merupakan kader partai NasDem, dan Pramono
Anung yang juga merupakan kader PDI Perjuangan.
Perombakan menterti atau reshufle kabinet
kerja dilakukan Jokowi seiring dengan dinamika politik yang terjadi,
bertambahnya partai pendukung pemerintah menandai ada pergeseran dan pergantian
posisi menteri. Fakta tersebut menbuktikan Presiden Jokowi dan partai
pendukungnya telah menjilat lud ah sendiri. Yang lebih parah adalah, pernyataan
Jokowi yang mengatakan Menteri dalam kabinet kerja tidak boleh rangkap jabatan
di partai politik, hal itu tidak berlaku bagi ketua umum Partai Golkar. Standar
ganda berlaku bagi Arilangga Hartanto yang merupakan Menteri Perindustrian
sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.
Banyaknya komposisi kader partai dalam kabinet
kerja Jokowi-JK menunjukan sikap inkonsistensi antara ucapan ketika masa
pencalonan dengan kenyataan setelah menang. Revolusi mental yang dianggap
sebagai terobosan untuk membangun suprastruktur masyarakat Indonesia belum
banyak yang dirasakan, gebrakan Jokowi lebih banyak terlihat pada sektor
inprastruktur. Janji-janji Jokowi belum banyak terbukti, benyak problematika
yang terjadi, masyarakat belum melihat solusi yang pasti.
Mayoritas anggota DPR saat ini merupakan
pendukung Jokowi-JK menunjukan suprioritas pemerintah dalam menguasai parlemen.
Fungsi-fungsi DPR harus profesional diantaranya: fungsi sebagai legislasi,
fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta sebagai penyerap aspirasi masyarakat.
Meskipun berasal dari partai pendukung pemerintah, DPR dituntut untuk bekerja
profesional, tidak hanya sekedar persetujuan atas kebijakan dan langkah
eksekutif tanpa mempertimbangkan suara-suara masyarakat. Meminjam lirik Iwan
Fals “wakil rakyat, bukan paduan suara, hanya tau nyayian lagu setuju”.
Dalam hal hubungan dengan presidensial
threshold, pemilu 2014 telah menunjukan suara mayoritas di DPR tidak menjadi
jaminan untuk prasyarat pencalonan, dengan dinamika yang terjadi sangat
potensial untuk politik setiap partai berubah. Legislatif dan eksekutif
mempunyai kamar kerja yang berbeda, pembagian fungsi tersebut apabila
dilaksanakan sesuai dengan posisinya akan menunjang kualitas demokrasi serta
pelaksanaan konstitusi dan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
Meraba Peta Politik 2019
Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang
pelaksanaan pemilu telah ditetapkan DPR, pasal 222 yang menjadi poin
kontroversi harus diterima oleh semua pihak yang kontra. MK telah memutuskan
untuk tidak melanjutkan pembahasan atas ayat-ayat konstitusi yang dianggap
kontroversi. Pelaksanaan pimilu 2019 harus dilaksanakan sesuai dengan ketetapan
dalam undang-undang. Meskipun pada awalnya banyak pihak menggugat undang-undang
pemilu yang dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan norma UUD NRI
1945 dan prinsip pelaksanaan sistem presidensial yang murni, undang-undang
tersebut tetap harus dilaksanakan sebagai acuan penyelenggaraan pemilu 2019.
Adanya ambang batas pencalonan presiden menutup kemungkinan partai baru
mencalonkan sendiri kadernya di bursa pilpres 2019. Partai baru disuguhkan
pasangan calon yang telah mendapat dukungan partai pemilik kursi parlemen
pemilu sebelumnya.
Berkaca dari pemilu tahun 2014 yang dijadikan
acuan ambang batas pencalonan presiden maka setidaknya ada tiga potensi
pasangan calon. Beberapa peneliti memprediksi Megawati, Prabowo, dan SBY masih
menjadi tokoh sentral penentu peta calon presiden. Perolehan suara di DPR
memberikan gambaran kemungkinan terbesar hanya terdapat dua calon, yaitu rematch
Jokowi dan Prabowo. Poltraking membuat empat simulasi pencalonan; Pertama,
dengan tiga poros saling berhadapan yakni poros Megawati dengan calon Jokowi,
berhadapan dengan poros Prabowo, dan Poros SBY; Kedua, poros koalisi
Jokowi dan SBY melawan poros Prabowo; Ketiga, poros Jokowi melawan poros
Prabowo dan SBY; Keempat, poros Jokowi dan Prabowo melawan Poros SBY.
Simulasi dihadirkan dengan segala kemungkinan, dari kemungkinan terkecil sampai
kemungkinan terbesar. Simulasi pertama dan keempat yang dianggap paling
memungkinkan, kepiawaian SBY dalam berkomunikasi membangun koalisi terbukti
seperti halnya dalam pilkada DKI, ketiga poros akan saling berhadapan. Simulasi
ketiga juga dianggap berpotensi besar, melihat hasil perolehan suara di DPR,
partai Demokrat memerlukan dua partai tambahan dianggap cukup sulit maka
pilihannya adalah bergabug dengan poros Prabowo seperti yang terjadi di pemilu
presiden 2014.
Sejumlah nama ditawarkan ke publik untuk
menjadi pemimpin, nampun secara garis besar partai politik terpolarisasi pada
dua kubu. Kelompok yang menginginkan kembali Jokowi sebagai presiden dan
kelompok yang menginginkan adanya calon lain. Nama-nama muncul, dari mulai
Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Jendral Gatot Nurmantyo, TGB Muhammad Zainul
Majdi, Agus Harimurti Yudhoyono seringkalli hadir dalam perbincangan bagi dalam
jagat media sosial atau diskusi-diskusi politik.
Rilis hasil survey yang dilakukan Poltraking masih
menempatkan Jokowi dengan elektabilitas tertinggi, unggul dengan angka 55,9%
kemudian disusul Prabowo mendapat elektabilitas 29,9%. Selebihnya tertinggal
jauh di angka 2%, ada Anies Bawedan, Gatot Nurmantyo, dan Agus Harimurti
Yodhoyono. Hal ini memperkuat kemungkinan Jokowi-Prabowo bertarung kembali di
Pilpres 2019. Ada kecenderungan naiknya elektabilitas Jokowi dan Prabowo sejak
akhir 2017. Jokowi mengalami kenaikan sekitar 4,1% dan Prabowo mengalami
kenaikan sekitar 2,9%. Dari dua nama yang kuat, masing sangat terbuka peluang
bagi calon alternatif muncul. Nama-nama yang bertarung dipilkada muncul sebagai
pilihan lain dan sangat berpotensi sebagai penantang kuat melihat proses yang
masih panjang dan belum ada calon definitif. Dalam survey LSI Denny JA masih
menempatkan Jokowi dan Prabowo sebagai calon tertinggi. Jika dikalkulasikan
pendukung Jokowi dan non Jokowi, posisi Jokowi masih kuat paling dengan
elektabilitas paling tinggi.
Dalam beberapa bulan kedepan, kinerja Jokowi
akan sangat mempengaruhi elektabilitas. Persoalan ekonomi, ketimpangan sosial,
isu SARA dan radikalisme menjadi problem yang belum diselesaikan Jokowi. Kepuasan
masyarakat terhadap konerja Jokowi tinggi dengan informasi yang disuguhkan
media dalam hal pembangunan infrastruktur. Akan tetapi dalam hal suprastruktur
belum begitu dirasakan oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini akan
menjadi batu sandungan Jokowi menghadapi pilpres mendatang, terlebih
janji-janji yang ditawarkan tahun 2014 yang belum terpenuhi akan menjadi isu
sentral menganjal Jokowi. Sehingga calon alternatif lah yang diharapkan mampu
mengatasi segala problematika yang belum dituntaskan Jokowi.
Partai-partai politik penantang petahana
menghadapi kesulitan besar untuk menghadirkan calon alternafir sampai menjadi
calon definitif. Kendala tersebut adalah kekuatan partai politik yang tidak
memiliki kursi cukup sebagai syarat. Salah satu penghambat sulitnya mencari
tokoh alternatif capres tersebut yakni aturan Pasal 222 Undang-undang nomor 7
tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Calon alternatif
yang bisa disandingkan dengan Jokowi sebagai capres adalah Gatot Nurmantyo dan
TGB Zainul Majdi. Jika walam injury time calon alternatif mampu merebut
hati masyarakat dan menyakinkan partai politik untuk mendukungnya.
Dalam hitungan bulan, calon presiden harus
sudah mempersiapkan dukungan yang cukup dari partai politik. Pun sebaliknya,
partai politik harus menentukan calon presiden yang akan diusung sekaligus
membangun koalisi. Sejauh ini tidak ada partai yang bisa mencalonkan sendiri
tanpa ada dukungan dari partai lain. PDIP merupakan pemenang pemilu legislatif
sekalipun harus mendapat dukungan partai lain, namun demikian posisi PDIP
paling aman untuk mengusungcalon. Beberapa partai-partai pemerintah dipredisksi
kuat akan kembali mengusung Jokowi sebagai calon presiden, tinggal kesepakatan
koalisi menentukan calon wakil presiden yang diharapkan mampu mengisi ruang
kosong dan melengkapi kekurangan.
Satu persatu partai politik telah
mendeklarasikan dungan terhadap calon presiden yang akan di usung. Sampai saat
ini terdapat lima partai yang telah
mendeklarasikan dukungan terhadap Joko Widodo sebagai calon presiden pada
pemilu 2019. Diawali PPP dalam Muskernas yang dilaksanakan pada hari Jumat pada
hari Jumat, 21 Juli 2017; dilanjutkan oleh partai Hanura pada tanggal 4 Agustus
2017; kemudian NasDem pada hari Rabu, 15 November 2017; selanjutnya deklarasi
ulang dukungan partai Golkar tanggal 18 Desember 2017, sebelumnya di era ketua
umum Setya Novanto telah lebih dulu mendeklarasikan dukungannya terhadap
pencalonan Jokowi; terakhir dalam Rakernas PDIP, Jokowi dideklarasikan sebagai
calon presiden oleh ketua umumnya Megawati Soekarno Putri. Posisi Jokowi
semakin aman menghadapi pilpres mendatang, setidaknya syarat ambang batas suara
di parlemen telah terpenuhi. Meskipun ada partai yang mencabut dukungan, posisi
Jokowi masih aman.
Tersisa lima partai yang belum mendeklarasikan
calon presiden, yakni Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan PKB. Gerindra masih
menawarkan sosok ketua umumnya, PKS memberi sembilan tokoh internal yang
merupakan kader partai, semetara PAN mengeluarkan nama Zulkifli Hasan sebagai
calon Presiden yang juga merupakan ketua umumnya mulai melakukan safari politik
keberbagai daerah, Demokrat masih malu-malu kucing dengan calon yang di
tawarkan namun publik melihat AHY adalah sosok yang di tawarkan Demokrat,
sementara PKB rajin mengkampanyeukan Cak Imin sebagai calon wakil yang pas,
entah itu wakil Jokowi atau wakil calon presiden lain. Publik akan melihat
dinamika yang terjadi beberapa bulan mendatang sampai Agustus yang ditetapkan
sebagai masa pencalonan presiden dan wakil presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar