Minggu, 04 Maret 2018

Menggugat Politik Persis

Persis sebagaimana dijelaskan dalam QA-QDnya Bab I bagian ketiga pasal 3, bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Dakwah dalam artian yang sangat luas termasuk dalam hal siyasah. Persis menjadikan dakwah sebagai bagian dari siyasah. Dengan demikian, Persis tidak anti politik, tetapi menjadikan politik sebagai jalan dakwah meneggakan islam dalam bernegara. Sedari awal, para founding fatherPersis terlibat dalam politik, baik secara langsung (politik praktis), maupun tidak langsung. A. Hassan terlibat perdebatan sengit dengan soekarno terkait nasionalisme. Natsir dan Isa Ansori juga berdebat dengan kalangan nasionalis sekuler dan komunis. Begitu juga KHE. Abdurrahman, aktif dipolitik menjadi anggota parlemen di kota bandung. Meskipun pada akhirnya natsir dan KHE. Abdurrahman tidak lagi terjun dalam politik langsung (praktis), tetapi jalan yang dipilihnya waktu itu juga adalah bagian dari siyasah untuk tidak dibumi hanguskan penguasa. Dengan siyasah seperti itu, dakwah menyebarkan islam secara luas dan leluasa (kecuali politik praktis) tetap bisa dilakukan.

Uraian singkat diatas menggambarkan jika Persis terlibat dalam politik bukanlah hal yang tabu. Sejarahnya memang begitu. Syarat dan dasarnya harus dengan dakwah. Politik bukanlah tujuan, tetapi alat atau bagian dakwah. Atas dasar itulah, Natisr dulu mengatakan ‘dahulu kita berdakwah melalui politik, sekarang kita berpolitik melalui dakwah’. Sebuah ungkapan yang secara jelas memberikan makna bahwa dakwah dan politik adalah dua bingkai yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dikesempatan lain juga natsir menyatakan ‘politik kita tergantung dakwah kita’. Sebuah prinsip yang masih dipegang oleh parw ulama Persis. Dalam berbagai kesempatan, bidang garapan siyasah PP. Persis sering mengutip ungkapan Natsir tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana politik Persis saat ini? Apakah Persis seperti lazimnya islam politik indonesia selama ini yang seolah sudah lelah dan merasa kalah sehingga seolah menyerah dengan keadaan? Haruskah Persis membuat strategi baru dalam berpolitik?

Jika kita sepakat dengan ungkapan natsir tentang ‘politik kita tergantung dakwah kita’, lalu dihubungkan dengan realitas yang kita hadapi saat ini, berarti ada yang ‘salah’ dengan dakwah kita. Jika politik Persis saat ini termarginalkan -untuk tidak mengatakan selalu kalah-, bisa jadi dakwah yang selama ini kita gencarkan membutuhkan strategi baru. Perlu formula baru dalam pendekatan dakwah kita. Jangan-jangan, selama ini dakwah kita hanya terfokus pada jama’ah Persis saja. Jangan-jangan dakwah kita tidak menyentuh semua lapisan. Jangan-jangan dakwah kita hanya terfokus di mesjid saja? Jangan-jangan dakwah kita hanya persoalan ibadah saja? Jangan-jangan dakwah kita lebih banyak menghakimi bukannya mencerahkan? Jangan-jangan dakwah kita lebih banyak mengejek daripada mengajak? Sehingga umat bukannya mendekat untuk berjuang bersama-sama tetapi malah semakin menjauh dan memusuhi.

Jika pola dakwah Persis masih seperti sebelumnya, maka perjuangan dan kesempatan besar di ranah politik akan terus tertatih-tatih, termarginalkan dan gagal. sejatinya, dakwah harus menjadi modal besar politik kita. Karenanya, strategi politik kita harus menyatu dengan formulasi dakwah yang kita bangun. Selama ini, nampaknya dakwah dan politik di Persis dipisahkan, tidak integral. Formula dan konsep dakwah berdiri sendiri, begitu juga dengan siyasahnya. Belum punya silabus dan formatnya secara integral. Sehingga yang terjadi memang para kader di Persis yang aktif di politik praktis, hanya dibekali sebagai juru dakwah sebagaimana lazimnya,  kurang dibekali bagaimana perangkat politik praktis. Akibatnya mereka kalah ketika berhadapan langsung dilapangan. Atau, Persis memang menghendaki kader-kadernya di ranah politik praktis belajar di luar Persis? Di Persis cukup dibekali muatan ideologisnya saja? Jika itu yang dikehendaki Persis, maka yang terjadi seperti sekarang, kader-kader Persis yang aktif diranah politik praktis berguguran di tengah jalan. Kalau pun ada yang berhasil di politik praktis, karena mereka hanya mendapatkan legalitas dan rekomendasi saja, tidak melalui proses di Persisnya, akibatnya mereka hanya datang ke Persis disaat perlu saja, dalam momentum-momentum tertentu saja. Lebih dari itu, yang paling fatal dalam pandangan penulis, jika pola politik yang dibangun Persis seperti itu, dimanapun Persis tidak akan mewarnai politik, tetapi hanya akan tergerus oleh politik yang ada.

Sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah dan bertujuan menegakkan syari’at islam secara kaffah, sudah seharusnya Persis mempunyai grand designe dakwah dan politik secara integral. Sistem yang nantinya akan bisa melahirkan sosok-sosok A. Hassan baru, Natsir-Natsir baru, Isa Ansori-Isa Ansori baru, KHE. Abdurrahman baru, yang saling melengkapi.
Strategi baru: sebuah tawaran

Selama ini Persis konsisten berkiprah dalam politik praktis untuk memperjuangkan syariat islam dalam bernegara. Sebagai konsekuensi dari konsistensi tersebut, Persis sejak awal bergabung dengan masyumi yang dengan tegas satu visi dengan Persis. Ketika masyumi dibubarkan paksa oleh Soekarno, Persis pada waktu itu melalui Isa Ansori hendak dirubah menjadi partai politik jamaah muslimin. Meskipun gagal, usaha Isa Ansori tersebut mengisyaratkan sikap yang konsisten berpolitik sebagai alat perjuangan dakwah menegakkan syari’at islam. Pada era orde baru, kemunculan kembali masyumi dijegal Soeharto, dan partai-partai islam difusikan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Persis meskipun tidak ikut langsung berpolitik praktis, tetapi secara tidak langsung mendukung PPP untuk pilihan politiknya. Bahkan di era ustadz Latief muchtar, melalui PPP, meskipun maut lebih dulu menjempunya, beliau lolos ke Senayan. Di era reformasi, Persis konsisten satu barisan dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang dengan tegas mengusung dan memperjuangkan syari’at islam. hingga saat ini pun, Persis masih konsisten bersama PBB meskipun kondisinya saat ini terseok-seok. Komitmen dan konsistensi Persis dalam berpolitik luar biasa dan patut dibanggakan. Hanya persoalannya sekarang, apakah berpartai itu dalam kerangka politik Persis pilihan ideologis atau alat perjuangan? Apakah Persis beranggapan berpartai itu tujuan atau wasilah perjuangan? Pertanyaan mendasar itulah yang harus diselesaikan dan disosialisasikan kepada jamaah. Jika tidak, maka akan terjadi konflik internal di tataran grassroot.

Selama ini, hemat penulis, di Persis, berpartai di wadah tertentu seakan menjadi pilihan final, taken for granted. Indikasinya bisa kita lihat ketika ada orang Persis yang berjuang di politik di luar PBB, ditataran jamaah dipandang tabu, seolah-olah laisa minna. Ini menjadi problem yang akan mengganggu soliditas jami’iyyah.Bahwa Persis punya tanggungjawab sejarah dan tanggungjawab moral dengan masyumi adalah fakta sejarah dan kenyataan, tapi disamping itu, tentu memperjuangkan nilai-nilai islam dan kemashlahatan umat adalah tuntutan ke depan bagi Persis. Karenanya, diperlukan langkah dan strategi baru ke depan dalam politik Persis.

Setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, membuat partai sendiri. Persis bisa saja mendirikan partai sendiri yang khas Persis. Dengan mempunyai partai sendiri, perjuangan Persis akan lebih leluasa dalam politik. Bahkan partai yang lahir dari rahim Persis bisa memberikan jalan baru dan pilihan alternatif di tengah semakin terpuruknya partai-partai yang ada. Namun demikian, nampaknya langkah ini problemnya lebih besar ketimbang mashlahatnya bagi Persis. Selain basis masa yang kurang, Persis juga ‘miskin’ jaringan. Sementara menghidupi partai walau bagaimanapun jaringan sangat penting. Selain itu, dalam sejarahnya di Persis, gagasan dan langkah membuat partai gagal dan tidak diterima di jamaah. Membuat partai baru hanya akan menambah beban bagi Persis, bukan menjadi solusi bagi gerak langkah dakwah Persis.

Kedua, tetap bersama-sama di PBB. Langkah ini akan menghindarkan Persis dari dosa sejarah saja. Persis akan dipandang sebagai ormas yang konsisten dalam perjuanga  politiknya. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, perjuangan politik di PBB untuk memperjuangkan syari’at islam ditingkat yang lebih luas sangat terjal. Selama dua kali pemilu legislatif, PBB terus berkurang kekuatannya. Kesempatan untuk memperjuangkan syari’at islam pun melalui partai tersebut menjadi tidak efektif. Bahkan tertutup ruang geraknya.

Ketiga, Persis secara serius menyiapkan kader-kadernya untuk berdiaspora ke partai-partai islam dan berbasis muslim. Persis membuat kurikulum dakwah dan politik yang khusus disiapkan untuk memperjuangkan nilai-nilai islam dan kemashlahatan umat. Mulai dari pelatihan, secara teoritis dan praktek, hingga siap bertarung dalam kontestasi perebutan kekuasaan, eksekutif maupun legislatif. Diberikan pelatihan dan pendidikan mulai dari konsep politik islam, politik anggaran, legal drafting dan yang lainnya yang terkait dengan politik indonesia. Dengan cara seperti itu, diharapkan ketika kader-kadernya berhasil di jalur politik akan bisa merepresentasikan Persis dan mewarnai politik indonesia. Jangan sampai ketika ada kader Persis yang jadi di jalur politik, ketika sudah dilapangan mau memperjuangkam syari’at islam dalam undang-undang, dia buta sama sekali tentang tasyri’, tadwin dan taqninnya. Bagaimana dia akan memperjuangkan syari’at islam jika begitu? Selain itu, yang harus difahaminya juga tentang politik anggaran, supaya nanti kader yang sudah jadi bisa memperjuangkan hak konstitusional konstituen atau jama’ah Persis, bisa memperjuangkan hak-hak jama’ah dan jamiyyah.

Cara ketiga ini sangat mungkin untuk dilakukan Persis. Konsekuensinya memang membutuhkan jangka panjang. Tetapi penulis beranggapan, jika ini dilakukan, Persis pada saatnya akan diperhitungkan dalam politik karena kualitas kader-kadernya. Dengan cara seperti itu, kita berharap jangan sampai Persis menjadi objek, tetapi menjadi subjek. jika tidak ada perubahannya, maka bisa jadi Persis dalam politik bukannya memberikan perubahan, tetapi malah menjadi sesuatu yang dirubah orang lain. Persis bukannya mewarnai, tetapi malah terwarnai oleh partai. Kondisi ini adalah konsekuensi logis dari belum adanya konsep dan implementasi siyasah Persis yang ideal. Akibatnya, Persis kesannya lebih responsif dalam momentum-momentum hajatan politik saja. Langkah-langkah politikmya terkesan jangka pendek dan sesaat. Karenanya, wajar kalau orang-orang yang didukung Persis ketika sudah sukses di politik, menjadi lupa atau meninggalkan Persis.

Sudah saatnya, Persis membuat madrasah siyasah dengan model yang ideal, kurikulumnya integral dengan dakwah. Madrasah siyasahyang tidak hanya seremonial, namun madrasah siyasah yang mengajarkan aspek teoritis sekaligus dengan aspek implementasinya. Wallohu A’lam

Oleh: Nizar Ahmad Saputra (Ketua Umum PP Hima Persis 2013-2018)
(sedikit tambahan komentar) Tulisan ini sangat relevan untuk referensi dalam membaca politik Persis tingah naiknya suhu politik, bahkan Persis terkena dampak panas nya tahun politik,  terlebih setelah gugatan PBB diterima Bawaslu dalam sidang ajudikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar