Pilpres 2014 memiliki dampak yang cukup panjang pada polarisasi di masyarakat. Pasca ditetapkan Jokowi sebagai Presiden tahun 2014 silam, masyarakat belum sepenuhnya bersatu. Ulama dan umat, seakan menjadi kata kunci jualan politik. Dampak juga terasa pada pilkada serentak, calon yang bertarung kemudian saling klaim mendapat dukungan ulama dan umat. Namun sayangnya, pihak yang dianggap merepresentatifkan kelompok muslim belum tentu bisa dibuktikan dengan kuat.
Sepanjang periode 2014-2019, terjadi fenomena ulama dikapitalisasi untuk kepentingan politik oleh semua pihak. Sayangnya, banyak masyarakat terjebak dalam situasi politik komunal. Masyarakat memandang ketokohan seseorang karena satu pandangan dalam pilihan politik, tanpa melihat dengan objektif bahwa yang baik dikatakan baik dan yang buruk katakan buruk. Seorang yang dulu dipuja kini dicaci hanya karena perubahan sikap dukungan. Bagi saya, hal itu sungguh tidak adil.
Penyakit demokrasi muncul manakala fanatisme berlebihan mendominasi pandangan masyarakat. Seorang dihargai karena dia memiliki keaamaan kelompok, ormas, pandangan politik, dan kedekatan emosional lain. Sebaiknya, orang menjadi tidak dihargai karena tidak memiliki kesamaan emosional, dan dianggap tidak menjadi bagiannya.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, kita harus mampu mengelola perbedaan menjadi harmonis demi kepentingan bersama yang lebih besar. Tidak ada satu orangpun yang sempurna bisa menyelesaikan segudang persoalan bangsa sendirian. Seperti sebuah bangunan, semua oerbedaan mempunyai fungsi yang berbeda tapi bisa saling mengisi menjadi sebuah bangunan kokoh. Bukankah perbedaan itu bagus kalau bisa di-manage dengan baik?
Legitimasi keulamaan dan ketokohan hanya menjadi milik kelompok tertentu saja. Pedahal, banyak yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Hanya karena perbedaan orang menjadi saling caci, kualitas seseorang menjadi tidak diakui. Bisa dikatakan ulama kalau seseorang memiliki keimanan, kecakapan ilmu dan akhlaq yang baik. Prestasi seseorang diakui jika mampu perubahan signifikan dimasyarakat dan dilingkungannya. Jangan sampai menganggap keulamaan dan ketokohan hanya karena kesamaan satu kelompok atau golongan dan pandangan.
Beberapa tokoh dari mulai Prof. Mahfud MD sampai yang terbaru TGB Zainul Majdi mengalami hal demikian. Mengalami perubahan dukungan politik, awalnya dipuji dan kini dicaci. Dulu dianggap idealis kini dipandang pragmatis. Hujatan-hujatan siap-siap dialamatkan kepada mereka yang berbeda pandangan.
Prof. Mahfud MD adalah mantan ketua Mahkamah Konstitusi, seorang guru besar Hukum Tata Negara yang juga alumni kampus UII. Pada tahun 2014 adalah ketua tim pemenangan Paslon Prabowo-Hata. Namun karena berpindah dukungan dan bagian dari pemerintah, muncul meme cacian dan hujatan. Dipandang pragmatis, dianggap inggin mencari jabatan politik entah sebagai cawapres atau sebagai mentri.
Tuan Guru Bajang DR. H. Muhammad Zainul Majdi, atau yang akrab dipanggil TGB merupakan Provinsi Gubernur Nusa Tenggara Barat dua periode dengan segudang prestasi. Seorang Doktor hafiz Qurān, ketua ikatan Alumni Universitas Al Azhar. Berbagai penghargaan diberikan hamoir setiap tahun dalam kapasitas sebagai gubernur NTB. TGB dianggap representatif ulama dan umara. Namun sayang, kekaguman terhadap TGB mulai terkikis seiring munculnya pernyataan dukungan terhadap Jokowi. Wajar saja, TGB adalah ketua tim pemenangan Prabowo-Hata provinsi NTB yang mampu meberikan kemenangan telak di daerahnya.
TGB dianggap calon presiden ideal melawan petahana, Joko Widodo. Figur keulamaan melekat kuat, ditambah presinya yang mempu merubah NTB menjadi provinsi yang lebih maju dalam sektor pangan, pariwisata, layanan publik, infrastrukur, menarik investasi, dan masih banyak lagi. Prestasi yang didapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
TGB yang merupakan anggota majelis tinggi partai Demokrat. Sayangnya partai demokrat lebih memilih mengendors putra sulung ketum partai sebagai putra mahkota untuk dicalonkan. Pernyataan dukungan secara pribadi punya makna tersendiri bagi TGB, dan perlu dihormati sikapnya tanpa menafikan semua prestasi yang pernah diraih.
Dipihak pemerintahan Jokowi, ada Anies Baswedan mantan Menteri Pendidikan dan Kebidayaan yang juga pernah menjadi jiru bicara paslon Jokowi-JK tahun 2014. Anies Baswedan sempat dikagumi pendukung Jokowi-JK, kekaguman terhadap Anies Baswedan sirna setelah menjadi Gubernur DKI tahun 2017 yang di dukung Gerinda, PKS, PAN. Pedahal Anies tidak kalah dengan yang lain, janji politik mulai ditunaikan satu-persatu. Berbeda dengan Jokowi yang banyak melupakan janji politiknya, seperti tidak bagi-bagi jabatan.
Selain Anies ada Sudirman Said, mantan menteri ESDM yang maju sebagak Cagub Jateng tahun 2018, walaupun kalah versi. Juga ada Rizal Ramli yang sampai sekarang banyak mengkritik kebijakan ekonomi Jokowi. Bernasib sama dengan yang lain, dulu dipuji sekarang dicaci.
Sebetulnya banyak calon pemimpin negri ini yang memiliki kapasitas dan berkualitas, tapi sayang kepentingan elit partai seringkali tidak sejalan dengan keinginan sebagian masyarakat. Sikap elit partai politik kemudian mempengaruhi pandangan masyarakat atas perubahan sukap politik dan dukungan berbagai tokoh.
Seharusnya, sebagai masyarakat dari sebuah negara yang sangat plural harus menerima perbedaan dan menjadikan harmonis demi kepentingan masyarakat lebih luas. Kompetisi produktif dalam demokrasi akan membawa perubahan yang baik bagi Indonesia.